Pages

Sunday, May 19, 2013

Transmisi Teks Alkitab


 Oleh: P. G. Katoppo, M.A.

buku.gifDahulu kala transimis teks naskah-naskah atau kitab-kitab kuno dilakukan dengan tangan. Setiap huruf dan kata harus disalin satu per satu, yang merupakan suatu pekerjaan yang menjemukan dan meletihkan bagi penyalin. Teks Alkitab pun mengalami proses transmisi yang sama. Setiap kitab telah disalin dari aslinya dengan tangan, dan salinan-salinan tu disalin lag, kemudian salinan-salinan dari salinan-salinan itu disalin lagi dan seterusnya pekerjaan penyalinan dengan tangan berlangsung sampai pada masa adanya percetakan. 
Kita tidak lagi memiliki kitab-kitab asli Alkitab, baik kitab-kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani dan Aram maupun kitab-ktab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Yang kita miliki ialah salinan dari salinan dari kitab-kitab asli tersebut, beberapa diantaranya salinan-salinan yang sangat kuno. Di samping salinan-salinan tersebut kita juga memiliki naskah-naskah terjemahan yang sangat kuno yang dibuat dalam bahasa-bahasa di Timur Tengah.
Beberapa macam bahan tulis dipakai pada masa lampau. Kepingan-kepingan dari tanah liat atau dari batu, lempeng kayu, tembikar, papirus dan kulit, semuanya dipakai di masa purba. Di dalam Keluaran 34:1 dikatakan bahwa Sepuluh Hukum Tuhan ditulis pada dua loh batu (TB) atau keping batu (BIS). Mungkin Yesaya disuruh mencatat ucapan ilahi pada lempeng kayu (Yes. 30:8). Pecahan tembikar juga dipakai sebagai bahan tulis di zaman purba, dan diduga bahwa nubuat-nubuat singkat, amsal-amsal dan pesan-pesan serupa ditulis pada pecahan-pecahan seperti itu.
Bahan-bahan tulis tersebut hanya cocok untuk penulisan teks yang pendek, sebelum teks-teks itu dikumpulkan menjadi sebuah kitab, yang kemudian menjadi bagian dari Alkitab. Yang lebih cocok bagi penulisan teks yang lebih panjang, seperti kitab-kitab, ialah bahan papirus dan kulit. Buku gulungan biasanya terbuat dari papirus atau kulit. Mungkin Barukh menulis pada buku gulungan papirus sewaktu mencatat kata-kata yang didiktekan Yeremia sesuai yang dikatakan Tuhan kepadanya dan yang dibakar oleh Raja Yoyakim (Yer. 36).
Papirus sudah mulai dipakai di Mesir sejak tahun 3000 sebelum Masehi. Gulungan-gulungan papirus diekspor ke Fenisia dan daerah-daerah lain di Laut Tengah. Kelihatannya papirus dipakai secara luas di Palestina. Harganya murah dan cukup tahan lama, apalagi di padang pasir. Tetapi di daerah yang lembab memang papirus tidak akan tahan berabad-abad. 
Di samping papirus, kulit binatang juga dipakai sebagai bahan tulis di Palestina dan wilayah Timur Tengah lainnya. Keuntungannya ialah bahwa kulit bisa tahan lama, sehingga bahan ini sering dipakai bagi tulisan-tulisan yang sering dibaca dan yang dimaksudkan untuk tahan lama. Sampai sekarang peraturan-peraturan Yahudi menentukan bahwa exemplar Torah untuk pemakaian liturgi harus terbuat dari kulit binatang yang halal.
Sejak kurang lebih tahun  200 sebelum Masehi ditemukan teknik khusus untuk memproses kulit binatang menjadi perkamen. Menurut Pliny, Raja Eumenes dari kota Pergamum memajukan usaha pemrosesan dan pemakaian perkamen. Ia bermaksud untuk membangun sebuah perpustakaan di kotanya untuk menyaingi perpustakaan yang termasyhur di Alexandria. Raja Ptolemeus dari Alexandria menentang hal ini dan melarang ekspor papirus. Itu sebabnya Eumenes mengembangkan produksi perkamen. Perkamen menjadi bahan utama buku-buku sejak abad keempat, sedangkan pemakaian papirus berkurang. Kemudan, mulai abad kesembilan kertas yang mula-mula ditemukan di Tiongkok pada abad pertama, mulai dipakai untuk penerbitan buku-buku.
Bentuk buku yang mula-mula ialah bentuk gulungan yang dibuat dari papirus atau kulit binatang. Gulungan papirus itu dibuat dengan menyambung helai-helai papirus dengan alat perekat, dan helai-helai yang disambung itu dgulung pada sebatang kayu, menjadi suatu volume (dari bahasa Latin volumen, ‘sesuatu yang digulung'). Panjang gulungan tersebut biasanya sekitab 8-9 meter, karena gulungan-gulungan yang lebih panjang sult untuk ditangani. Tulisan pada gulungan tersebut dilakukan dalam kolom-kolom selebar 5 sampai 7 cm.
Pada umumnya gulungan ditulis pada satu sisi saja, walaupun kadang-kadang sisi yang lainnya ditulisi juga, (lih. Wahyu 5:1). Untuk membaca buku gulungan agak susah. Pembaca harus memakai kedua tangannya, dengan satu tangan membuka gulungan, dan dengan tangan yang lain menggulungnya kembali.
Pada akhirnya abad pertama kodeks atau buku berhalaman, mulai dipaka secara luas di kalangan Gereja. Kodeks dibuat dengan melipat dua beberapa helai papirus dan menjahitnya. Bentuk kodeks ini banyak keuntungannya: bukunya dapat lebih tebal dari buku gulungan, dan lebih mudah membacanya atau mencari nats-nats tertentu. Juga lebih cocok untuk menulisi kedua sisi lembar, sehingga biaya pembuatan buku dapat ditekan. Penemuan kodeks, khususnya kodeks perkamen, memungkinkan penerbitan semua kitab-kitab Alkitab dalam satu jilid. Sisa-sisa kodeks papirus dengan teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dari abad kedua dan ketiga sesudah Masehi masih tersimpan sampai sekarang.
Dua gaya penulisan huruf Yunani dikenal di masa lampau: Tulisan kursif yang bersambung pada umumnya dipakai untuk keperluan sehari-hari seperti untuk surat-surat, kwitansi dan lain-lain, sedangkan karya sastra pada umumnya ditulis dengan huruf unsial yang lebih formal. Pada abad kesembilan dciptakan cara penulisan huruf minuskul yang bersambung untuk buku-buku.
Pada awal sejarah Gereja, naskah-naskah Kitab Suci dibuat oleh orang-orang Kristen perorangan yang ingin menyediakan satu atau dua kitab dari Perjanjian Baru untuk jemaat atau diri sendiri. Oleh karena jumlah: orang Kristen bertambah dengan pesat, maka perlu disediakan banyak eksemplar bagi orang-orang Kristen baru. Sebagai akibatnya mutu penyalinan kadang-kadang tidak terjaga baik.
Ketika pada abad keempat agama Kristen diakui secara resmi oleh negara, perusahaan penyalinan komersial, yang dsebut skriptorium, mulai memproduksi eksemplar-eksemplar Perjanjian Baru. Para penyalin yang duduk di ruang kerja akan menulis pada perkamen pada waktu yang bersamaan ketika pembaca, atau lekor, dengan keras membaca teks. Dengan demikian dapat dibuat beberapa eksemplar sekaligus sesuai jumlah penyalin yang sedang bekerja di scriptorium. Tapi dengan cara seperti itu kesalahan-kesalahan lebih mudah terjadi. Bila penyalin naskah kurang berkonsentrasi, atau tidak  mendengar lektor dengan jelas, maka dengan mudah ia dapat membuat kesalahan pada waktu menyalin. Pekerjaan penyalin naskah dikoreksi oleh seorang korektor.
Pada zaman setelah, itu, zaman Bizatin, penyalinan naskah dilakukan oleh para biarawan. Mereka bekerja dalam sel-sel mereka sendiri, dan menyalin naskah sendiri-sendiri juga, sehingga kesalahan-kesalahan sistem dikte dapat dihindari. Walaupun demikian, kesalahan-kesalahan penyalinan tetap terjadi, mengingat pekerjaan penyalinan itu sendiri merupakan pekerjaan yang berat dan meletihkan.
Transmisi Teks Ibrani
Teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani dikenal sebagai teks Masora, yakni tradisi teks para sarjana Yahudi golongan Masorit. Sebelum penemuan naskah-naskah Laut Mati, naskah tertua yang ada ialah dari abad kesembilan.
Tetapi dengan ditemukannya naskah-naskah Laut Mati, maka naskah tertua yang ada sekarang berumur kurang lebih 2000 tahun. Salah satu sebab mengapa tidak ada banyak naskah-naskah tua dalam bahasa Ibrani ialah karena dahulu kala naskah yang usang karena pemakaian biasanya dikubur. Naskah-naskah tua dari abad keenam sampai abad kedelapan ditemukan di sebuah rumah ibadah Yahudi di Kairo, di sebuah geniza, ruangan gudang di mana naskah-naskah yang usang disimpan sampai dapat dikubur dalam suatu upacara. Tetapi oleh karena suatu kesalahan, naskah-naskah tersebut tidak sampai dikubur, karena genizanya sendiri tertutup tembok dan terlupakan sampai ditemukan kembali pada akhir abad ke-19.
Pada tahun 1947 ditemukan naskah-naskah Ibrani yang sangat kuno di gua-gua di tepi Laut Mati. Di antara naskah-naskah tersebut terdapat kitab Yesaya, dua fasal pertama kitab Habakuk dan fragmen-fragmen semua kitab Perjanjian Lama lainnya kecuali Ester. Walaupun naskah-naskah ini penting namun untuk Perjanjian Lama kita tetap mengandalkan naskah-naskah dari abad ke-10, dan setelahnya. Ini disebabkan kebiasaan orang Yahudi untuk membinasakan naskah-naskah yang usang dan rusak, sesuai peraturan. Dan ketika para ahli Alkitab menentukan teks Alkitab pada abad  ke-10,  semua naskah yang lebih tua dianggap defektip, dan lama kelamaan menghilang dari peredaran. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak selalu naskah yang lebih tua itu naskah yang lebih baik, tetapi yang lebih penting ialah tradisi teksnya.
Teks Ibrani dan transmisinya sampai pada abad Renaissance dan zaman Reformasi merupakan usaha orang Yahudi. Pada milenium pertama, ada  dua golongan, yakni Masorit Barat di Palestina yang berpusat di Tiberias, dan Masorit Timur di Babilon. Pada abad ke-10 kelompok Babilon menghilang, dan yang memegang peranan ialah para Masorit Barat. Teks Ibrani pada mulanya hanya memakai huruf konsonan. Tanda-tanda huruf hidup hanya ditambah beberapa abad kemudian, ketika teks konsonan sudah ditentukan setelah menempuh sejarah transmisi yang panjang.
 Teks konsonan yang terdapat dalam naskah-naskah abad pertengahan dan yang menjadi dasar edisi Alkitab Ibrani yang dikenal sekarang, bersumber pada naskah-naskah abad pertama. Pada sidang di Yamnia sekitar tahun 90 sesudah Masehi, para rabi Yahudi membahas status beberapa kitab apakah dapat masuk kanon, dan menentukan teks Perjanjian Lama yang otoritatip. Sebelum sidang di Yamnia, ada beberapa tradisi teks yang lain yang juga beredar, seperti ternyata dari teks Pentateukh Samaritan, papirus Nash dan dari Septuaginta (terjemahan bahasa Yunani), tetapi setelah itu, teks yang ditentukan di Yamnialah, yang dipakai secara luas. Sejak ditentukannya teks Perjanjian Lama yang otoritatip, maka teks itu saja yang ditransmisi, sedangkan teks-teks lainnya tidak lag diperhatikan.
Sejak itu juga pekerjaan transmisi teks dilakukan menurut peraturan-peraturan yang ketat. Benar-benar diusahakan agar teks suci bebas dari kesalahan, dan inilah yang menjadi tugas tradsi atau Masora. Mereka menghitung kata, ayat dan huruf setiap kitab. Teks yang mereka salin itu diterima sebagai teks yang otoritatip, dan naskah-naskah Ibrani dari abad pertengahan menunjukkan bentuk teks yang sangat konsisten.
Naskah-naskah Perjanjian Lama
Naskah-naskah penting kitab-kitab Perjanjian Lama yang ditemukan selain naskah-naskah Laut Mati, ialah naskah papirus Nash, naskah fragmen geniza, dan naskah-naskah Ben Asher. Naskah papirus Nash memuat teks Sepuluh Firman dan Kel. 20:2-17 dan shema dari Ul. 6:4 dan ayat-ayat berikutnya. Naskahnya sudah sangat kuno, diperkirakan berasal dari zaman Makabe. Fragmen geniza berjumlah sekitar 200.000 buah dan di samping teks Alkitab dalam bahasa Ibrani, Aram dan Arab, juga terdapat teks Midrash, Mishna, dan Talmud.
Naskah-naskah Ben Asher merupakan hasil transmisi teks yang dikerjakan Moses Ben Asher pada tahun 855. Dua naskah yang masih ada ialah naskah kodeks Kairensis dengan kitab-kitab nabi-nabi dan kodeks Aleppo yang memuat seluruh Perjanjian Lama. Kodeks Leningradensis, yang merupakan dasar Alkitab Ibrani (Biblia Hebraica) edisi ketiga Rudolf Kittel, merupakan salinan yang dibuat pada tahun 1008 dari naskah Ben Asher.
Biblia Hebraica Stuttgartensia yang disunting oleh K. Ellingger dan W. Rudolph, tidak banyak mengadakan perbaikan dalam teksnya sendiri, tetapi telah memperbaiki apparatus tekstualnya.

Transmisi Teks Perjanjian Baru Yunani
Kitab-kitab Perjanjian Baru mula-mula beredar secara terpisah, dan diduga yang pertama-tama dijilidkan ialah surat-surat Paulus. Gereja-gereja yang menerima surat-surat dari Paulus akan menyimpannya baik-baik, dan saling tukar salinan surat-surat rasul tersebut untuk dibacakan dalam kebaktian. Paulus sendiri menganjurkan agar surat-suratnya dibaca oleh jemaat-jemaat yang lain. Dalam Kolose 4:16 ia katakana, "Sesudah surat ini dibacakan kepadamu, usahakanlah supaya itu dibacakan juga kepada jemaat yang di Laodikia. Begitu juga kalian sendiri juga harus membaca surat yang akan dikirim dari Laodikia kepadamu" (BIS).
Mula-mula tidak semua kitab-kitab dalam Perjanjan Baru diakui sebagai kanon. Surat Ibrani umpamanya mula-mula tidak diterima karena menyangkal pertobatan yang kedua kali. Baru pada abad keempat surat-surat Katolik diakui sebagai suatu kelompok, karena sebelum itu hanya  1 Petrus dan  1 Yohanes diakui secara luas, sedangkan surat Yakobus,  2 dan 3 Yohanes, 2 Petrus dan Yudas tidak diterima secara merata semua pihak. Begitu juga kitab Wahyu pada umumnya ditolak oleh Gereja-gereja di Timur.
 Ketika kelompok-kelompok tulisan yang berbeda mulai dikumpulkan menjadi Perjanjian Baru lengkap, naskah-naskah yang dikumpulkan itu dapat mewakili tradisi teks dengan mutu yang berbeda-beda. Teks surat-surat yang sudah lama diakui Gereja, mutunya mungkin baik sekali, sedangkan teks surat yang baru saja menerima pengakuan mungkin kurang baik mutunya.

Naskah-naskah Perjanjian Baru
Naskah-naskah Perjanjian Baru Yunani berjumlah lebih dari 5.000 eksemplar, dan teksnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok:
  1. Aleksandria
  2. "Barat"
  3. Bizantin (koine)
Beberapa ahli menambahkan kelompok keempat yang berpusat di Kaisarea. Masing-masing kelompok mempunyai ciri-ciri khas, dan pada umumnya teks Aleksandra dianggap teks yang sangat baik. Kelihatannya teks Aleksandria telah dikerjakan oleh penyunting-penyunting di Aleksandria yang kompeten. Teks dasar yang mereka pakai merupakan teks yang sangat kuno. Naskah-naskah penting dari kelompok Aleksandria ialah naskah B (kodeks Vatikanus), (kodeks Sinaitikus), dan p 66 dan p 75B (p = papirus).
Naskah-naskah kelompok "Barat" juga berdasarkan naskah yang sangat kuno, dan dipakai oleh Marcion, Irenaeus, Tertullian dan Cyprian. Naskah terpenting dar kelompok ini ialah kodeks Bezae Cantabrigiensis.
 Kelompok ketiga, kelompok Bizantin atau koine merupakan kelompok naskah yang termuda umurnya. Seperti disebut di atas, ada ahli-ahli yang berpendapat ada kelompok naskah, keempat, yakni kelompok Kaesarea. Naskah-naskah dalam kelompok ini merupakan campuran teks Barat dan teks Aleksandria. Naskah dalam kelompok ini ialah naskah (kodeks Koridethi), dan p 45, teks dari Mesir yang diduga dibawa oleh Origen ke Kaesarea sehingga juga disebut teks pra-Kaesarea.
Masalah dalam transmisi teks ialah bahwa kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penyalinan teks. Kesalahan bisa terjadi karena penyalin salah membaca huruf atau kata yang disalinnya, atau kalau naskah didikte kepadanya kesalahan dapat terjadi karena salah mendengar. Kadang-kadang terjadi perubahan yang sengaja dibuat, bila penyalin naskah merasa bahwa dalam teks yang sedang disalinnya itu terdapat kesalahan ejaan atau tata bahasa, atau oleh karena pertimbangan doktrin. Perlu diingat bahwa pada awal sejarah Gereja, kitab Perjanjian Baru belum dianggap sebagai Kitab Suci sehingga penyalin kadang-kadang tidak merasa terikat untuk membuat salinan yang saksama huruf demi huruf. Itu sebabnya naskah-naskah Yunani mempunyai perbedaan-perbedaan kecil dalam teksnya, dan adalah tugas para ahlinya untuk berusaha memulihkan teks Alkitab sedekat mungkin pada teks asli dengan membanding-bandingkan naskah-naskah yang ada. Disiplin membandingkan dan memulihkan teks Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama disebut kritik teks.
Walaupun para penyalin kadang-kadang mengadakan perubahan dalam teks, pada umumnya mereka sangat tekun  dan teliti menyalin naskah sesuai aslinya. Hal ini dapat dilihat bila umpamanya bentuk kata kerja yang salah dalam sebuah kalimat tetap dipertahankan oleh para penyalin, tanpa usaha memperbaikinya, walaupun mereka mahir berbahasa Yunani atau Ibrani.

 Kritik Teks
Naskah-naskah Alkitab yang ada sekarang, baik naskah Ibrani maupun naskah Yunani, semuanya merupakan salinan dari salinan otograp (tulisan asli), dan semuanya mengandung perbedaan-perbedaan dalam teksnya. Perbedaan-perbedaan itu disebabkan oleh karena kesalahan para penyalin dalam transmisi teks, tetapi kadang-kadang juga terjadi karena perubahan yang sengaja dibuat.
Disiplin teks kritik berusaha untuk memulihkan teks pada keadaan yang sedekat mungkin dengan teks ketika kitab-kitab yang bersangkutan dikanonkan. Di dalam melakukan teks kritik ini, para ahli harus berusaha mencari dan memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan juga menemukan perubahan-perubahan yang sengaja dilakukan dan sedapat mungkn mengembalikannya kepada bentuknya yang asli. Di dalam kritik teks bukan hanya naskah-naskah yang berbeda tetapi juga terjemahan-terjemahan kuno (yang disebut version) juga diteliti karena sering terjemahan-terjemahan kuno ini mewakili tradisi teks yang berbeda. Terjemahan-terjemahan kuno seperti Septuaginta, Peshitta dan Vulgata membantu dalam melakukan penilaian atas teks yang dihadapi.
Untuk Perjanjian Lama teks Masori diterima sebagai teks tradisional. Di mana teks sama dengan naskah-naskah lain, maka dapat dpastikan bahwa teks asli telah ditransmisi dengan baik. Bila ada perbedaan, perlu dilihat sifat perbedaannya. Kadang-kadang perbedaannya terjadi karena teks Masorit kelihatannya benar susunan kalimat dan tatat bahasanya, sedangkan di naskah lain kelihatannya terjadi kesalahan. Atau, sebaliknya kelihatannya terjadi kesalahan dalam penyalinan teks Masorit, sedangkan naskah lain kelihatannya lebih masuk akal. Bisa juga terjadi bahwa baik teks Masorit maupun naskah lain kedua-duanya berbeda, tanpa kelihatannya ada kesalahan tata bahasa. Dalam hal ini pada umumnya teks Masorit yang diikuti. Bila baik teks Masorit maupun naskah lain kedua-duanya kelihatannya tidak masuk akal susunan kalimatnya, maka dapat diusahakan emendasi, yakni usaha memulihkan kalimat yang asli melalui perkiraan dengan mempertimbangkan tradisi teks.
Untuk teks Perjanjian Baru, pada umumnya naskah-naskah dari kelompok Aleksandria dianggap sangat baik, dan termasuk dalam kelompok ini ialah naskah-naskah kodeks Sinaitiukus dan kodeks Vatikanus yang ditulis pada abad keempat. Kombinasi teks Aleksandria dan "Barat" sangat diandalkan di dalam usaha memulihkan bentuk teks asli.
Teks Perjanjian Baru hasil penelitian para ahli telah diterbitkan oleh Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (United Bible Societies) dengan judul "Greek New Testament", dan merupakan teks eklektis, yakni perpaduan teks-teks terbaik dari kelompok-kelompok naskah yang telah ditransmisi dari abad ke abad. Teks ini yang menjadi dasar penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam berbagai bahasa, sama seperti teks Biblia Hebraica Stuttgantensia menjadi dasar bagi penterjemahan Perjanjian Lama.

 Daftar Rujukan Pustaka:
 Emst Wurthwein, trans. Erroll Rhodes, William B. Eerdmans,
The Text of the Old Testament. Grand Rapids, 1985
 Kurt Aland and Barbara Aland, trans. Erroll Rhodes, Wlliam B. Eerdmans,
The Text of the New Testament, Grand Rapids, 1985.
 Bruce Metzger, Oxford Unv. Press, New York and Oxford, 1968.
The Text of the New Testament, 2 nd ed.
 Dr. Daud H. Soesilo,
Mengenal Alkitab Anda, edisi kedua, ed. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta,
1990.
 Harper and Row,
Harper's Bible Dictionary, San Fransisco, 1985.
 Bruce Metzger,
The Early Version of the New Testament, Oxford, Clarendon, 1977.





No comments:

Post a Comment