Pages

Sunday, May 12, 2013

Seluk Beluk Daftar Kitab-Kitab di dalam Perjanjian Lama


Oleh: Pdt. E.G. Singgih, Ph.D.
Dalam kerangka acuan edisi ke-2 Forum Biblika, saya diminta menulis mengenai "Kanonisasi Perjanjian Lama". Saya diharapkan membahas tentang  1) naskah-naskah kuno yang ada dan ditemukan; 2) peran dan sumbangan penemuan naskah-naskah Qumran sebagai naskah normatif bagi naskah-naskah yang ditemukan dan 3) proses kanonisasi kitab Perjanjian Lama dan permasalahannya yang ada kaitannya dengan budaya masyarakat dan kualitas naskah.
      Dengan segala senang hati, saya akan membahas mengenai 3). Tetapi sehubungan dengan 1) dan 2) saya memutuskan tidak menulis saja, dengan alasan sbb: saya tidak melihat hubungan antara penguraian kanon dan masalah naskah-naskah. Kanon sudah terbentuk berdasarkan naskah-naskah yang ada pada kurun waktu tertentu di masa lalu. Sehingga jikalau kemudian ada naskah-naskah lain yang ditemukan, paling-paling kita hanya memperbandingkan saja. Dengan kata lain, Perjanjian Lama pada akhirnya tersusun sampai mencapai bentuk jadi dengan daftar yang sudah tetap berdasarkan (tentu saja) naskah-naskah yang dimiliki, tetapi tidak berdasarkan: penilaian atas kwalitas teks dari naskah-naskah merupakan sesuatu yang baru terjadi jauh kemudian di zaman moderen, yang diwakili oleh ilmu teks. Itulah sebabnya sebelum Perang Dunia II kita memiliki Biblia Hebraica Kittel (BHK) yang berdasarkan Teks Masoret yang terdapat dalam Codex Leningradensis, untuk menggantikan Teks Masoret dari sumber-sumber sebelumnya. Penggantian ini dilakukan oleh karena pertimbangan bahwa Teks pada Codex Leningradensis secara keseluruhan lebih baik daripada yang lama, meskipun jelas bagi mereka yang mempelajari BHK bahwa di situpun masih ada teks-teks yang rusak di sana sini. Akhir-akhir ini terbit Biblia Hebraica Stuttgartensia (BHS) yang merupakan perbaikan dan penyederhanaan (terutama dalam apparatus criticus) dari BHK. Proses penyusunan BHK dan BHS jangan diproyeksikan ke belakang, sebagai sesuatu yang juga dijalani oleh kitab-kitab yang membentuk Perjanjian Lama.
      Dalam rangka itu saya juga tidak akan membicarakan naskah Qumran da naskah-naskah lain dari Laut Mati (selain Qumran masih ada 6 situs lain yang penggaliannya menghasilkan naskah-naskah: Wadi Murabba'at, Nakhal Khever, Nakhal Se'elim, Nakhal Mahras, Khirbet Mird dan Masada), meskipun pada dirinya sendiri hal ini tentu saja menarik untuk dibicarakan. Saya diminta untuk membicarakan "naskah-naskah Qumran sebagai naskah yang normatif bagi naskah-naskah yang ditemukan". Tetapi naskah-naskah Qumran dan naskah-naskah lain dari Laut Mati tidak pernah bersifat atau dijadikan normatif, baik oleh para pakar ilmu teks maupun oleh pihak gereja! Memang ketika penemuan di Qumran pada 1948 mulai tersebar, banyak orang yang gempar dan menaruh harapan-harapan tertentu. Yang berasal dari kalangan Kristen fundamentalis mengharapkan bahwa teks-teks Qumran ini adalah "teks asli" yang akan membuktikan sifat supernatural dari Alkitab, yang ternyata "cocok" dengan teks asli tersebut. Sedangkan kalangan fundamentalis dari luar agama Kristen mengharapkan bahwa teks-teks Qumran adalah "teks asli" yang akan membuktikan bahwa Alkitab orang Kristen iktu telah dipalsukan! Tetapi harapan-harapan ini pada akhirnya merupakan "wishful thingking", oleh karena teks-teks Laut Mati (termasuk Qumran) memberi informasi kepada kita mengenai sebuah sekte Yunani yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama Kristen. Paling banyak yang dapat dikatakan adalah bahwa penemuan di atas  menambah wawasan kita mengenai Yohanes Pembaptis, yang diperkirakan mempunyai hubungan dengan kaum Esene. Di penggalian-penggalian tersebut ditemukan juga salinan-salinan dari  beberapa kitab Perjanjian Lama. Setelah salinan-salinan ini diterbitkan maka para penafsir dan penerjemah harus mempertimbangkannya, apalagi sudah termuat di dalam apparatus criticus. Tetapi mereka tidak akan mengoreksi naskah-naskah yang sudah ada berdasarkan salinan-salinan dari Laut Mati ini! Apalagi akhir-akhir ini setelah diketahui bahwa dalam menyalin seringkali warga Qumran juga sudah sekaligus menafsir teks-teks Perjanjian Lama ini menurut "kaca mata sectarian" mereka.1) Jadi meskipun sudah ada variant dari Qumran (dengan kode "Q"), pada akhirnya penafsir atau penerjemah yang menentukan mau menggunakan kemungkinan mana apabila teks yang ada kurang "berbunyi".
      Oleh karena Perjanjian Lama sudah merupakan bentuk jadi dengan daftar yang tetap (kanon), maka pertanyaan naskah mana yang normatif merupakan pertanyaan yang keliru. Mengapa keliru? Karena Perjanjian Lama (dan begitu juga seluruh Alkitab) tidak merupakan suatu buku atau satu naskah yang dinyatakan atau diwahyukan menurut model "kitab yang turun dari surga" seperti yang  dipahami oleh kalangan tertentu. Alkitab diilhami oleh Roh Kudus, tetapi dinyatakan dalam sebuah proses yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia dan merupakan perekaman dari pertemuan orang beriman di masa lalu dengan Tuhan. Kita di masa kini merefer ke Alkitab dalam rangka menghayati pertemuan kita dengan Tuhan pada masa kini. Dalam rangka itu Alkitab menjadi normatif bagi kita. Tetapi itu tidak berarti  kenormatifan Alkitab ditentukan oleh naskah-naskah. Akhirnya, bagi orang Kristen bukan kitab yang turun dari surga untuk keselamatan dunia ini, melainkan Yesus Kristus, Firman yang telah menjadi daging (manusia). Janganlah prosedur penyataan ini dibalik lagi menjadi "daging menjadi firman (yaitu Alkitab yang sekarang kita miliki)", sebab membalik prosedur penyataan berarti menolak penyataan (pewahyuan) itu sendiri. Orang Kristen memiliki Alkitab yang dipercayai sebagai diilhami oleh Roh Kudus dan karena itu memiliki kewibawaan besar. Tetapi agama Kristen sedalam-dalamnya tidak dapat digolongkan ke dalam "agama kitab", oleh karena wibawa Tuhan Yesus masih jauh lebih besar dari pada wibawa kitab dan itu tertulis di dalam kitab sendiri! Contohnya di dalam Perjanjian Lama ada penentuan mengenai binatang yang haram dan yang halal. Tetapi oleh karena dalam Perjanjian Baru Yesus menyatakan bahwa "semua makanan halal" (Mrk. 7:19) maka meskipun dalam Perjanjian Lama anjing dan babi adalah haram, orang Kristen dengan tenang makan anjing dan babi dalam kehidupan sehari-harinya (kecuali, tentu saja, kaum Advent).
Tinjauan Daftar Isi Kitab Suci Perjanjian Lama  
      Dalam buku J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama2), bab I bagian Pendahuluan, terdapat keterangan mengenai daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani dan bahasa Indonesia. Orang Yahudi membagi apa yang kita sebut "Perjanjian Lama" atas tiga bagian, yaitu Taurat (Tora), Nabi-nabi (Nevi'im) dan Kitab-kitab/tulisan-tulisan (Ketuvim). Kebiasaan menyingkat juga dikenal di kalangan mereka, maka Tora, Nevi'im dan Ketuvim disingkat TNK. Sebutannya menjadi "Tenak".
      Tora berisi Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Nevi'im terbagi dua: a) nabi-nabi terdahulu yaitu Yosua, Hakim-hakim, I-II Samuel, I-II Raja-raja, dan b) nabi-nabi yang kemudian yaitu Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel sebagai nabi-nabi "kecil". Sedangkan Ketuvim berisi Mazmur, Ayub, Amsal, Rut, Kidung Agung, Pengkhotbah, Ratapan, Ester, Daniel, Ezra, Nehemia, I-II Tawarikh.
      Dalam terjemahan Indonesia pembagian yang diikuti adalah demikian: mula-mula tedapat kitab-kitab sejarah, yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Rut, I-II Samuel, I-II Raja-raja, I-II Tawarikh, Ezra, Nehemia dan Ester. Kemudian menyusul buku-buku Pengajaran, yaitu Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah dan Kidung Agung. Lalu akhirnya buku-buku nabi-nabi, yaitu Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel, Daniel, Hosea, Joel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi. Pembagian ini tidak sesuai dengan pembagian di dalam Tenak. Di dalam Tenak kitab-kitab Yosua sampai dengan Raja-raja dianggap termasuk Nevi'im, sebagai nabi-nabi terdahulu. Daniel yang di dalam terjemahan Indonesia termasuk nabi-nabi, di dalam Tenak termasuk Ketuvim.  Dalam terjemahan Indonesia kitab Rut ditempatkan sesudah Hakim-hakim sebab Elimelekh dan kedua anaknya hidup di masa para Hakim. Kitab Ratapan termasuk dalam nabi-nabi, sebab menurut tradisi, Ratapan ditulis oleh Yeremia. Padahal di dalam Tenak, Rut dan Ratapan termasuk Ketuvim.3)
Ketidaksesuaian antara daftar isi Tenak dan terjemahan Indonesia memperlihatkan bahwa sebenarnya daftar isi Tenak tidak dianggap sebagai normatif. Saya setuju dengan pendapat ini, meskipun ditinjau dari segi penelitian histories, kitab Daniel memang tidak bisa ditempatkan di dalam Nevi'im oleh karena sifatnya yang apokaliptik. Blommendaal tidak memberi keterangan apakah pertimbangan-pertimbangan mengenai daftar isi di atas berasal dari LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) ataukah LAI mengikuti saja kebiasaan dari terjemahan-terjemahan Alkitab di dunia Barat. Tetapi pemeriksaan selayang pandang saja dari misalnya RSV (Revised Standard Version) memperlihatkan bagian yang sama. Dengan adanya pembagian semacam ini berarti kita tidak mengikuti urutan prioritas orang Yahudi, yang menempatkan Tora sebagai yang pertama oleh karena paling utama, kemudian menyusul Nevi'im dan Ketuvim. Kita mengakui prioritas Tora, buktinya urutan Tora tidak diganggu-gugat. Tentu kita merasa aneh bila Kejadian yang mulai dengan penciptaan ditempatkan sesudah Keluaran, meskipun kalangan-kalangan tertentu yang menekankan pada sejarah dalam praktek berteologi lebih mengandalkan pada Keluaran dari pada Kejadian. Tetapi mengenai Nevi'im dan Ketuvim nampaknya ada kebebasan dalam menentukan sendiri bagaimana "memperbaiki" urutannya. Meskipun prioritas Tora tidak diganggu-gugat, belum juga berarti bahwa dalam praktek kita mengandalkan pada Tora. Kalangan Protestan yang berasal dari tradisi Lutheran yang mempertentangkan Hukum dan Injil biasanya lebih menekankan penghayatan terhadap nabi-nabi, dibandingkan dengan kalangan Protestan yang berasal dari tradisi Calvinis, yang melihat Hukum sebagai "pagar" bagi Injil. 
      Pengamatan terhadap daftar isi yang berbeda ini paling tidak akan menghapus anggapan bahwa kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama "diturunkan" menurut suatu urutan yang memang sudah "dari sono"nya demikian. Kalau hanya mengenai soal daftar isi saja mungkin tidak akan ada yang mempersoalkan, meskipun  urutan tidak sama. Yang penting jumlahnya, tidak dikurangi ataupun ditambahi. Padahal ketidaksamaan dalam daftar urutan menurut saya sudah memperhatikan paling tidak dua hal:  bahwa ada kebebasan dalam menyusun berdasarkan pertimbangan tertentu (di atas pertimbangan sejarah) dan yang kedua mengikuti yang pertama yaitu ketidaknormatifan suatu daftar. Sehingga mestinya dipertanyakan apakah sebenarnya kanon memang berarti suatu daftar yang normatif ataukah daftar tetap?.
Makna Kanon Dan Dampaknya  
      Dalam buku-buku Pembimbing atau Pengantar Perjanjian Lama kata "kanon" umumnya diartikan "ukuran, standard". Nampaknya tanpa menyadari bahwa pengertian ini diambil dari Perjanjian Baru! Di dalam Perjanjian Baru kanoon memang berarti demikian, namun yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa konteks penggunaan kata ini tidak bersangkut-paut sama sekali dengan ukuran atau standard yang berlaku bagi kitab-kitab atau surat-surat yang dianggap suci.4) Kata "kanon" yang dipergunakan dalam rangka pembicaraan mengenai daftar isi Kitab Suci sebetulnya berada dalam lapangan semantik lain dari kanoon seperti dalam Perjanjian Baru. Dalam bahasa Yunani di luar Perjanjian Baru, kanoon berarti daftar, "lis" atau yang semacam itu. Sama halnya dengan mengatakan bahwa seorang telah "dikanonisasikan" dalam tradisi gereja Roma Katolik. "Dikanonisasikan" berarti bahwa nama orang tersebut telah masuk dalam daftar orang-orang kudus.5)
      Belum lagi masalah bahwa Perjanjian Lama tidak mengenal istilah yang berpadanan dengan kanoon, baik seperti di dalam Perjanjian Baru maupun seperti di luar Perjanjian Baru. Para rabbi Yahudi memang berbicara mengenai buku-buku "yang membuat tangan menjadi najis" pada pertemuan di Jamnia pada tahun 100 M, tetapi ungkapan ini tidak bersangkut-paut dengan kanonisasi seperti diperkirakan sebelumnya, melainkan bersangkut-paut dengan dampak ritual. Orang yang telah menyentuh buku-buku tersebut perlu membersihkan diri secara ritual sebelum melakukan pekerjaan lainnya. Jadi masalahnya bukanlah mengenai buku mana yang dianggap layak masuk kanon atau tidak, melainkan buku mana yang berdampak ritual dan mana yang tidak. Pertemuan yang diadakan di Jamnia pada abad ke-1 M, sebenarnya bukan "sinode" yang menetapkan kanon Perjanjian Lama, melainkan pertemuan untuk menentukan dampak ritual dari kitab-kitab seperti misalnya Kidung Agung dan Pengkhotbah.
      Kalau begitu bagaimanakah prosesnya sehingga kitab-kitab Perjanjian Lama terjadi seperti pada Tenak? Yang jelas adalah bahwa mula-mula Tora terbentuk, setelah bagian kitab Ulangan diselipkan masuk di antara Bilangan dan Yosua. Mazhab Ulangan yang melakukan penyelipan ini memang sangat menekankan bahwa "hukum ini" dan "kitab Tora ini" menentukan, sehingga harus dipelajari sehari-hari oleh raja-raja (Ul. 17:18 dst.). Dapat dikatakan pada abad ke-5 sM Tora sudah diterima sebagai otoritatif. Nevi'im dulu menjadi masalah. Kaum Samaria yang terpisah dari kaum Yahudi hanya mengakui Tora, yang lain tidak. Dulu faktor ini menimbulkan kesimpulan bahwa Nevi'im terbentuk sebagai Kanon hanya sesudah kaum Samaria terpisah dari kaum Yahudi. Tetapi sekarang argumentasi berjalan ke arah yang berlawanan. Semangat mengutamakan Tora di kalangan Samaria ternyata lebih hebat lagi dari pada di kaum Yahudi, sehingga kaum Samaria yang tadinya menerima Nevi'im, sekarang men"drop" bagian itu. Itu berarti sebenarnya jarak antara penyusunan Tora dan Nevi'im tidaklah terlalu jauh. Setelah Tora terbentuk, maka semua kitab lain dapat digolongankan ke dalam Nevi'im, seperti kita lihat dalam pembagian Tenak. Mengenai Ketuvim jelas bahwa sejak semula posisinya menempati prioritas ketiga. Kalau mengingat bahwa pertemuan Jamnia di atas bukan dalam rangka penetapan kanon, maka kita tidak bisa berargumentasi seperti biasanya bahwa kitab Pengkhotbah dan Kidung Agung lama diragu-ragukan derajat kanonnya sampai abad ke-1 M. dengan alasan bahwa isi kitab Pengkhotbah sangat skeptis dan isi Kitab Kidung Agung mengarah ke perkelaminan. Bagi orang Yahudi skeptisisme dan perkelaminan tidak berada di luar kerangka iman. Sejak dulu Ketuvim sebagai bacaan suci di samping Tora dan Nevi'im, Cuma dalam prioritas yang berbeda.
Kanon, Apokrip Dan Pseudoepigrafa  
      Karena daftar isi Perjanjian Lama terjemahan bahasa Yunani (Septuaginta) berbeda dari daftar isi Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, banyak orang di masa lalu beranggapan bawa di zaman kuno terdapat dua kanon, yaitu kanon Palestina dalam bahasa Ibrani (sebagian kecil Aram) dan kanon Aleksandria (Mesir) dalam bahasa  Yunani yang daftarnya lebih panjang. Karena kita berpendapat bahwa sebuah kanon pada hakikatnya memuat satu daftar yang tetap, maka adanya dua daftar yang tidak sama menunjuk pada adanya dua kanon! Tetapi kesimpulan ini sebenarnya terjadi dengan memasukkan asumsi kita ke belakang, ke suatu kenyatan historis yang tidak cocok  dengan asumsi kita. Adanya dua daftar yang berbeda justru menunjukkan bahwa paham "kanon" asing bagi orang Yahudi di zaman kuno. Fakta adalah bahwa orang di Palestina membaca Tenak yang daftar kitabnya lebih pendek dari Septuaginta.6)
      Jauh di kemudian hari setelah Reformasi, kaum Protestan yang telah memisahkan diri dari gereja Roma Katolik memilih untuk mengikuti daftar Tenak dari pada daftar yang ada di Septuaginta, yang kemudian diambil alih oleh Vulgata (terjemahan Latin yang resmi merupakan Kitab Suci bagi gereja Roma Katolik). Alasannya bisa teologis namun bisa juga praktis saja, misalnya supaya nampak lain dari Katolik. Pada waktu permulaan Reformasi belum dalam semua hal jelas perbedaan antara Protestan dan Katolik, tetapi kemudian timbul kecenderungan untuk membedakan diri secara tegas dan tajam, terutama dalam soal Kitab Suci. Oleh kaum Protestan kitab-kitab di luar Tenak dianggap "tidak kanonis"alias "apokrip". Itu berarti tidak diilhami oleh Roh Kudus. Gereja Katolik tidak beranggapan demikian, namun tidak juga memberi derajat yang sama pada kitab-kitab di luar Tenak. Oleh karena itu apa yang oleh kaum Protestan disebut "apokrip" oleh gereja Katolik disebut "deuterokanonika". Masih ada lagi sekelompok buku yang oleh kaum Protestan disebut "pseudoepigrafa", tetapi justru oleh kaum Katolik disebut "apokrip"!7)
      Oleh karena kitab-kitab di luar Tenak dianggap sebagai tidak diilhami oleh Roh Kudus, maka daftar tetap dari kitab-kitab di dalam Alkitab bagi orang Protestan menjadi sesuatu yang menentukan. Kitab Enokh yang termasuk pseudoepigrafa dan kitab Daniel dua-duanya bersifat apokaliptik. Tetapi kitab Daniel yang menjadi pusat perhatian religius sedangkan kitab Enokh paling-paling dianggap sebagai bacaan biasa saja, yang tidak membangun iman karena bukan "Firman Allah". Belum lagi masalah bahwa kitab Enokh dikutip dalam Perjanjian Baru!8) Ditinjjau dari segi teologis sebenarnya perbedaan teologis antara kitab-kitab "kanonis" dan "apokrip" tidaklah terlalu besar. Perbedaan ajaran Katolik dan Protestan tidak dapat dicari dengan mengusut sumber ajaran Katolik pada "apokrip" sedangkan sumber Protestan pada "kanon". Perbedaan itu mestinya dicari pada berbagai faktor di luar Kitab Suci Perjanjian Lama.
      Apakah dengan demikian saya mengusulkan agar kaum Protestan menerima "apokrip" sebagai "kanonis"? Sama sekali tidak. Saya menghargai tradisi yang memberikan saya daftar sebagaimana yang ada dalam kitab suci Perjanjian Lama Protestan. Dari segi teologis dan praktis daftar yang lebih pendek sudah mengandung kecukupan. Kecukupan secara teologis berarti bahwa dalam daftar yang lebih pendek sudah cukup bahan bagi saya untuk mengenal Tuhan, Allah Israel, tidak  perlu ditambah lagi. Hal yang sama juga berlaku bagi Perjanjian Baru. Meskipun di dalam Injil Yohanes (Yoh. 21:25) dikatakan bahwa masih banyak hal yang diperbuat Yesus, tapi belum dicatat dalam Injil tersebut, apa yang sudah dicatat sudah cukup untuk membangun kepercayaan. Kecukupan secara praktis berarti Alkitab tidak akan bertambah tebal dan karena itu tidak bertambah mahal!
      Saya juga tetap mengakui bahwa Alkitab dengan daftar yang tetap menurut versi Protestan adalah "firman Allah". Tetapi dengan mempelajari sejarah terbentuknya daftar isi kitab-kitab suci dalam pelbagai tradisi mulai dari kaum Yahudi sampai ke tradisi gereja-gereja, saya belajar untuk menghargai apa yang oleh orang lain dianggap sebagai "firman Allah". Kalau dulunya orang barargumentasi secara antagonistic: punyaku firman Allah, punyamu bukan! Tetapi sekarang orang dapat dengan tenang mengakui bahwa punyanya adalah firman Allah tanpa jatuh baik ke dalam absolutisme maupun relativisme, yaitu dalam menahan penilaian terhadap apa yang diakui oleh saudara-saudara kita yang lain. "Menahan penilaian" (to suspend judgment) merupakan suatu usaha positif ke arah oikumenisme yang benar, yang memberi tempat pada kepelbagaian. Pada hakikatnya daftar isi dari Alkitab menunjuk pada kepelbagaian. Penghayatan iman  yang berjalan berabad-abad memperlihatkan kekayaan berupa kepelbagaian. Tentu ada unsur yang menjadi benang merah, yang menyebabkan sekian banyak kitab-kitab dapat terkumpul menjadi apa yang sekarang kita sebut Alkitab. Tetapi sekaligus juga kita harus terbuka untuk menghayati kekayaannya.
      Dulu "kanonis" berati "satu ajaran" atau "satu teologi". Sekarang "kanoni" lebih banyak berarti "satu iman" tetapi "banyak ajaran". Tentu orang akan mempertanyakan: kalau begitu pegangan kita apa? Ya, jelas bukan? Yesus Kristus yang diberitakan oleh Alkitab. Karena kita berbicara dalam konteks Perjanjian Lama maka kalau ditanyakan pegangan kita apa? Jawabannya adalah Tuhan, Allah Israel yang bertindak menciptakan dunia ini, menyelamatkan umat Israel dari penindasan, menjadi sasaran bagi ibadah umat, menjadi pendorong bagi para nabi untuk membongkar ketidakadilan dan menjadi inspirasi bagi kaum berhikmat untuk hidup- bijaksana di dunia yang penuh dengan liku-liku ini. Apa lagi yang masih kurang?9)


1) Lih. Artikel "Dead Sea Scrolls" dalam A Dictionary of Biblical Interpretation, R.J. Coggins dan J.L. Houden (eds.), SCM Press, London dan Trinity Press International, Philadelphia, 1990, p. 167. "Musuh" dalam Mzm. 37:20 malah disalin sebagai "Pencinta" (4QpPsa 3.5a), sehingga dapat diidentikkan dengan mereka yang terpilih.
2) Terbitan BPK Gunung Mulia, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, pp. 9-17.
3) Ibid, p.16.
4) Apabila rasul Paulus dalam 2Kor. 10:13 berbicara tentang Kanoon, maka konteks ucapannya adalah ukuran atau batas daerah kerja, maklumlah daerah kerjanya dimasuki ""itinerant preachers" tanpa "kulo nuwun" terlebih dahulu. Begitu juga dalam ayat 15 dan 16. Dalam Gal. 6:16 Paulus berbicara mengenai "patokan". Konteksnya adalah Yesus yang tersalib atau ciptaan baru, bukan mengenai daftar isi Kitab Suci. Masih ada satu ayat lagi yang memuat kataKanoon, yaitu Flp. 3:16. Konteksnya adalah mengenai pengertian iman yang benar. Dalam Perjanjian Baru edisi Metzger ungkapan ini dimasukkan ke dalam catatan kritis saja.
5) Seluruh uraian ini didasarkan atas James Barr, Holy Scripture: Canon, Authority, Criticism. Clarendon Press, Oxford, 1983, pp. 49-51. Pada bulan Mei 1981 Prof. Barr mengunjungi Indonesia. Pada waktu mernceramahkan bahan ini (waktu itu) di STT Duta Wacana, Yogyakarta, saya mendapat kehormatan menjadi penerjemahnya.
6) Ibid., p. 56.
7) Yang "apokrip" (deuterokanonika): III Ezra, Tobit, Yudit, tambahan pada kitab Ester, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, Surat Yeremia, tambahan pada kitab Daniel, Doa Manase dan I-III Makabe. Sedangkan yang "pseudo-epigrafa" (apokrip): Surat Aristeas, Kitab Jobel, Kenaikan Yesaya, Mazmur Salomo, IV Makabe, Kitab Sybillina, Kitab Henokh, Kenaikan  Musa, IV Ezra, Apokalipse Barukh (Yunani). Apokalipse Barukh (Syria), Nyanyian pujian Salomo, Wasiat 12 Datuk, Surat Damaskus dan Riwayat Adam dan Hawa. Daftar seperti di atas ini biasanya ada pada setiap buku Pembimbing Perjanjian Lama ataupun pada Alkitab edisi bersama/oikumenis.
8) Lih. Surat Yudas 14-15. Kalau argumentasi di atas diikuti, maka ini berarti di dalam Perjanjian Baru ada penulis yang diilhami Roh Kudus tetapi mengutip dari tulisan yang tidak diilhami Roh Kudus!
9) Saya mengutip perkataan James Barr dalam buku di atas, p. 19 fn 17. "... There is no evidence that condemns anyone for their doctrine of scripture can never be a reason for separation from felloship. This means that much sectarianism, taking their doctrine of scripture as its criterion, has been contrary to scripture in this respect. Difference over the doctrine  of scripture is never a reason for suppoing that other believers are not in full communion with God."



No comments:

Post a Comment