Pages

Sunday, May 12, 2013

Mengenal Naskah-Naskah Laut Mati


Oleh: Dr. John J. Bimson & Dr. David L. Baker
Penemuan Naskah-naskah
            Naskah-naskah Laut Mati ditemukan pada awal tahun 1947. Pada suatu hari tiga orang Badui (suku pengembara di tanah Arab) sedang memberi minum kambing domba mereka di Ain Feskha, sebuah mata air dekat tepi barat Laut Mati. Di sebelah utara Ain Feskha, di lereng bukit-bukit yang terjal, terdapat banyak gua, dan salah seorang gembala Badui itu sering menjelajahi gua-gua itu, mengharapkan pada suatu ketika akan menemukan harta karun. Dan dia memang menemukannya tetapi bukan jenis harta seperti yang diharapkannya! Dia melemparkan batu ke dalam sebuah lubang kecil, lalu  mendengar bunyi suatu benda yang pecah. 
Dia tidak langsung menyelidiki ke dalam gua itu karena sulit dimasuki, melainkan memberitahukan hal itu kepada kedua saudara sepupunya dan beberapa hari kemudian mereka kembali ke tempat itu. Yang bungsu, yang masih remaja, berebut masuk melalui lubang itu ke dalam gua, dan dia menemukan sederetan guci tembikar kurang lebih 75 cm tingginya. Salah satu guci itu telah pecah, kena batu yang dilempar oleh saudara sepupunya itu. Sambil memeriksa guci-guci itu, dia menemukan tiga bundel yang dibungkus dengan kain linen. Ternyata bundel itu berisi naskah-naskah gulungan!
            Akhirnya naskah-naskah gulungan itu, serta naskah-naskah lain yang kemudian ditemukan dalam gua yang sama, sampai ke tangan para ahli di American School of Oriental Research di Yerusalem. Mereka menyadari betapa berharganya naskah-naskah itu karena usianya yang sangat tua. Segera sesudah itu para ahli bersama-sama orang Badui sibuk memeriksa gua-gua lain di daerah itu untuk mencari naskah-naskah yang lain. Dari pencarian mereka pada tahun-tahun berikutnya, ternyata sebelas gua menyimpan berbagai naskah gulungan. Sekarang gua-gua tersebut sudah dinomori sesuai dengan urutan penemuan naskah di dalamnya (1, 2, dst.).
            Kurang lebih satu kilometer di sebelah selatan gua yang pertama, terdapat puing-puing yang disebut Khirbet Qumran. Puing-puing ini pernah diselidiki sepintas lalu pada abad ke-19 M, tetapi pada waktu itu para arkeolog menganggapnya tidak penting. Memang Khirbet Qumran itu hanyalah puing-puing kecil, bukan sebuah tel yang besar. Mungkin saja tempat itu tidak akan digali seandainya tidak ada penemuan naskah-naskah Laut Mati di sekitarnya. Para ahli menduga, naskah-naskah itu berasal dari sebuah sekte Yahudi yang disebut kaum Eseni; dan Plinius yang Tua, seorang penulis Romawi, pernah menulis tentang perkampungan sekte ini dekat tepi Laut Mati. Namun apakah naskah-naskah dan puing-puing tersebut ada hubungannya dengan sekte Eseni? Untuk meneliti ini, telah dilakukan beberapa penggalian di Qumran selama tahun 1950-an di bawah pimpinan Pastor Roland de Vaux, seorang arkeolog dari Perancis.
            Ternyata, Khirbet Qumran merupakan puing-puing suatu kompleks bangunan yang didiami sekitar tahun 140-40 sM dan kemudian sekitar 4 sM sampai 68 M. (Tahun-tahun itu diketahui dari mata-mata uang yang ditemukan dalam puing-puing Qumran.) Masa penulisan naskah-naskah gulungan itu dapat pula ditentukan dari gaya huruf Ibrani/Aram yang dipergunakan. Ternyata, naskah-naskah itu memang berasal dari masa yang sama. Lagipula, di puing-puing Qumran itu ditemukan guci-guci yang serupa dengan beberapa guci di tempat penemuan naskah-naskah tadi, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa naskah-naskah itu ditulis oleh orang-orang yang tinggal di Qumran. Telah ditemukan pula sebuah ruang di Qumran yang nampaknya merupakan ruang tulis; di antara puing-puingnya terdapat bangku-bangku panjang dan dua bak tinta. Karena itu, mungkin sekali di situlah tempat penulisan naskah-naskah Laut Mati.
            Sekarang hampir semua ahli sependapat bahwa Khirbet Qumran itu tidak lain dari perkampungan Eseni yang disebut oleh Plinius dan naskah-naskah Laut Mati itu adalah karya orang-orang Eseni. Jadi ada tiga jenis bukti yang dapat kita manfaatkan untuk memperoleh gambaran tentang persekutuan di Qumran:
-- penggalian puing-puing di Qumran dan sekitarnya;
-- penelitian isi naskah-naskah Laut Mati; dan
-- informasi tentang orang-orang Eseni dari sejarawan kuno, yakni Plinius, Filo    
    dan Yosefus.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara khusus tentang naskah-naskah Laut Mati dan manfaatnya bagi orang-orang Kristen dalam memahami Alkitab dan dunianya. Naskah-naskah tersebut dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yakni:
       -- kitab-kitab Perjanjian Lama;
 -- kitab-kitab Apokrifa dan Pseudepigrafa; dan
  -- tulisan-tulisan persekutuan Qumran sendiri.
Dari naskah-naskah itu kita memperoleh banyak informasi, baik tentang teks dan kanon Perjanjian Lama, maupun tentang asal-usul dan kepercayaan persekutuan di Qumran.

Teks Dan Kanon Perjanjian Lama

            Kurang lebih seratus naskah yang ditemukan merupakan salinan kitab-kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani. Di antaranya adalah naskah Kitab Yesaya yang ditemukan dalam keadaan utuh dan dua pasal dari Kitab Habakuk beserta tafsirannya yang ditulis oleh anggota persekutuan Qumran. Sedangkan sebagian besar naskah yang lain ditemukan dalam keadaan tidak utuh dan sebagian lagi terdiri dari potongan kecil yang hanya berisi beberapa kata atau kalimat.
            Penemuan ini sangat penting untuk meneliti transmisi teks Perjanjian Lama (lihat Wurthwein 1979; Katoppo 1991). Salinan tertua Perjanjian Lama yang dikenal sebelumnya adalah Papirus Nash (satu lembar yang kuno sekali, mungkin dari zaman Makabe) dan naskah-naskah dari Geniza Kairo (banyak potongan yang ditulis antara abad ke-6 sampai ke-8 M). Belum ditemukan salinan lengkap Perjanjian Lama yang dituliskan sebelum abad ke-10 M. Selama ini dasar untuk menentukan teks asli Perjanjian Lama ialah salinan-salinan dari abad ke-10 M atau sesudahnya, terutama Kodeks Aleppo (abad ke-10 M), Kodeks Leningradensis (abad ke-11 M) dan beberapa salinan di British Museum (abad ke-15 M). Sedangkan salinan-salinan yang ditemukan dalam naskah-naskah Laut Mati ditulis sekitar zaman Kristus, seribu tahun sebelumnya!
            Para ahli sudah membandingkan salinan-salinan kuno itu dengan salinan-salinan Abad Pertengahan yang dipakai selama ini dan perbandingan itu sangat menolong upaya untuk menentukan teks asli Perjanjian Lama setepat mungkin. Adalah sangat menarik bahwa hampir tidak ada perbedaan penting antara salinan-salinan kuno itu dengan salinan-salinan Abad Pertengahan. Ternyata para penulis Yahudi yang menyalin teks Perjanjian Lama selama seribu tahun itu melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti. Oleh karena itu kita dapat menarik suatu kesimpulan yang penting tentang teks Perjanjian Lama dari Abad Pertengahan yang menjadi dasar pengetahuan kita sekarang tentang teks aslinya: teks itu dapat dipercaya dan hampir sama saja dengan teks Perjanjian Lama yang dikenal pada zaman Kristus.
            Penemuan naskah-naskah Laut Mati juga membantu kita memahami proses kanonisasi Perjanjian Lama (lihat Bruce 1988). Hampir semua kitab Perjanjian Lama terdapat dalam naskah-naskah  itu, kecuali Kitab Ester. Juga ditemukan beberapa kitab Apokrifa/Deuterokanonika dan Pseudepigrafa, khususnya Kitab Tobit, Yobel dan Henokh. Nampaknya persekutuan Qumran tidak memiliki satu daftar resmi kitab-kitab yang diakui sebagai kitab suci. Tetapi pandangan mereka tentang kitab-kitab kuno itu dapat dilihat secara tidak lansung dari cara pengutipan dalam tulisan-tulisan mereka sendiri. Lagi pula sudah ditemukan beberapa tafsiran yang dengan jelas mengakui kitab yang ditafsirkan sebagai kitab suci. Ternyata "kanon" persekutuan itu setidak-tidaknya memuat kitab-kitab berikut:
-- kelima kitab Taurat (tora);
      -- kitab-kitab sejarah dan nubuat (nevi'im); dan
      -- Kitab Mazmur, Daniel dan mungkin sekali Ayub (beberapa dari ketuvim).
Tidak ada pernyataan tentang status kitab-kitab yang lain.
            Walaupun informasi ini tidak lengkap, namun jelaslah kitab-kitab yang diakui sebagai Kitab Suci di Qumran hampir sama dengan kitab-kitab yang diakui oleh orang-orang Yahudi yang lain pada zaman itu. Dalam Perjanjian Baru juga, baik Yesus maupun teolog-teolog Yahudi yang melawannya mengakui wibawa kitab-kitab suci. Rupanya mereka mengikuti pengertian yang umum pada zaman itu. Ada banyak perbedaan pendapat antara golongan-golongan Yahudi pada zaman itu (Farisi, Saduki, Eseni, Zelot, Nasrani) tetapi agaknya penentuan batas-batas kanon tidak menjadi masalah.

Asal-usul Dan Kepercayaan Persekutuan Qumran

            Asal-usul persekutuan Qumran dapat kita ketahui dari salah satu naskah Laut Mati, yang sekarang dikenal sebagai "Dokumen Damsyik". Dalam pasal pertama dokumen tersebut dikatakan bahwa selama dua puluh tahun sesudah masa yang disebut "masa murka", persekutuan itu adalah "seperti orang-orang buta yang meraba-raba mencari jalan". Kemudian Allah "membangkitkan bagi mereka seorang Guru Kebenaran untuk membimbing mereka dalam jalan hati-Nya". Agaknya "masa murka" itu menyebut masa penganiayaan orang-orang Yahudi oleh Antiokhus IV (167-164 sM), sehingga diperkirakan "Guru Kebenaran" itu muncul sekitar tahun 145 sM. Perkiraan ini adalah sesuai dengan penemuan para arkeolog bahwa Khirbet Qumran mulai didiami sekitar tahun 140 sM. Jadi dapat disimpulkan, mungkin sekali persekutuan di Qumran didirikan oleh "Guru Kebenaran" itu sekitar tahun 145-140 sM.
            Jati diri "Guru Kebenaran" itu tidak diketahui lagi. Tetapi seorang lain yang disebut dalam naskah-naskah itu sebagai musuh Guru tersebut dapat diidentifikasi. Orang yang disebut "Imam yang Jahat" itu nampaknya menjabat sebagai Imam Besar. Ia sangat berpengaruh dalam bidang politik dan mati dibunuh. Informasi ini sesuai dengan  jati diri Yonatan, adik dan pengganti Yudas Makabeus, yang dilantik menjadi Imam Besar pada tahun 152 sM, meskipun bertentangan dengan peraturan untuk jabatan tersebut.
            Jerome Murphy-O'Connor mengusulkan "Guru Kebenaran" itu sebagai orang yang sebenarnya berhak menjadi Imam Besar namun yang diberhentikan supaya Yonatan dilantik. Usul ini memang menarik dan tidak bertentangan dengan apa yang diketahuii tentang "Guru Kebenaran" dalam naskah-naskah Laut Mati. Para pengikut Guru ini jelas tidak mengakui keimaman Rumah Allah di Yerusalem sebagai keimaman sah sehingga ibadat di sana pun dianggap haram. Oleh karena itu mereka sangat membenci "Imam yang Jahat" itu. Lagi pula "Guru Kebenaran" disebut dalam beberapa naskah sebagai "Imam itu",  suatu sebutan yang sering dipakai untuk Imam Besar. Mungkin para pengikut Guru Kebenaran tersebut menganggap bahwa dialah yang berhak menjabat sebagai Imam Besar. Informasi ini memang sesuai dengan teori Murphy-O'Connor, namun belum ada bukti yang memadai untuk memastikannya.
            Anggota-anggota persekutuan di Qumran mungkin sekali berasal dari kaum Hasidim, yakni orang-orang Yahudi yang saleh yang menentang proses Yunanisasi agama Yahudi. Kemudian hari kaum Hasidim itu terpecah menjadi dua golongan, yakni kaum Farisi (yang berupaya mempertahankan kebenaran Allah dalam masyarakat Yahudi yang dikuasai politik Roma dan budaya Yunani) dan kaum Eseni (yang memencilkan diri dari masyarakat karena rasanya tidak mungkin lagi hidup dengan saleh di dalamnya). Pada akhir abad ke-2 sM, pada masa pemerintahan Aleksander Yaneus, banyak orang Yahudi menjadi tidak senang dengan penyalahgunaan jabatan Imam Besar demi kepentingan politik. Mungkin sekali pada masa itu semakin banyak orang Hasidim yang merasa sudah waktunya untuk memutuskan hubungan dengan peribadatan di Yerusalem dan mencari jalan lain. Bagi orang-oran seperti itu, jalan yang ditawarkan oleh orang-orang Eseni di Qumran tentu saja cukup menarik. Agaknya karena itulah persekutuan di  Qumran  bertambah besar sekitar tahun 103 sM, sebagaimana diketahui dari penggalian di sana.
            Dari  naskah-naskah Laut Mati kita memperoleh pengetahuan yang agak terinci tentang gaya hidup dan kepercayaan persekutuan di Qumran. Rupanya persekutuan itu melaksanakan disiplin diri yang ketat serta menafsirkan hukum Perjanjian Lama dengan lebih keras lagi daripada kaum Farisi yang paling ekstrim. Mereka memandang diri sebagai Israel yang benar dan struktur persekutuan mereka melambangkan kedua belas suku. Anggota-anggota persekutuan Qumran percaya, mereka akan memainkan peran yang sangat penting dalam menggulingkan kejahatan pada akhir zaman, yang menurut keyakinan mereka sudah dekat. Mereka menafsirkan nubuat-nubuat Perjanjian Lama untuk menunjukkan hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman mereka sendiri atau yang akan terjadi dalam waktu dekat. Secara khusus mereka yakin, persekutuan mereka sendiri adalah penggenapan nubuat-nubuat tersebut. Mereka menanti-nantikan dua orang mesias: seorang raja keturunan Daud dan seorang imam. Bagi mereka, mesias yang memangku jabatan keimaman lebih penting kedudukannya. Ini bisa dimengerti karena perhatian khusus persekutuan ini akan keimaman yang benar.
            Akan tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang mereka harapkan. Pada tahun 68 M, sewaktu Qumran dimusnahkan, persekutuan itu bubar. Agaknya sebagian dari anggota-anggotanya tewas dalam pemusnahan itu, tetapi nasib mereka yang sempat melarikan diri tidak diketahui lagi. Mungkin sekali sebagian mereka pergi ke selatan dan bekerja sama dengan orang-orang Zelot yang membuat pertahanan terakhir di Masada. Di antara puing-puing benteng itu telah ditemukan satu naskah yang berasal dari Qumran. Mungkin juga ada anggota-anggota persekutuan Qumran yang meninjau ulang kepercayaan mereka dan menjadi anggota jemaat Kristen mula-mula, namun hal ini belum dapat dibuktikan.
            Tidak dapat dipastikan apakah kepercayaan persekutuan Qumran mewakili kepercayaan kaum Eseni secara umum. Jelas jumlah kaum Eseni jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk Qumran: Filo dan Yosefus memperkirakan jumlah kaum Eseni pada abad pertama Masehi sebanyak 4000 orang; sedangkan jumlah penduduk Qumran kurang lebih 200 orang. Lagi pula ada beberapa perbedaan antara kepercayaan Eseni menurut Filo dan Yosefus dengan kepercayaan yang nampak dalam naskah-naskah Laut Mati. Oleh karena itu dapat disimpulkan, persekutuan di Qumran adalah salah satu kelompok atau aliran orang Eseni, namun tidak berarti seluruh kaum Eseni memiliki kepercayaan yang sama dengan mereka.

Qumran dan Agama Kristen

            Ada beberapa persamaan antara persekutuan Qumran dan jemaat Kristen mula-mula, namun sebaiknya persamaan itu tidak terlalu ditekankan karena ada juga perbedaan yang sangat penting.
            Upacara agama yang diadakan oleh orang-orang Eseni di Qumran mencakup permandian dan perjamuan, yang dapat dibandingkan dengan sakramen baptisan dan perjamuan kudus dalam agama Kristen. Namun upacara itu tidak mempunyai makna sakramental dalam persekutuan Qumran seperti dalam jemaat Kristen mula-mula. Bahkan penemuan arkeologis baru-baru ini di Yerusalem dan tempat-tempat lain menunjukkan, pada zaman itu semua orang Yahudi biasa mengadakan permandian ritual untuk pentahiran. Jadi jelaslah kebiasaan itu tidak merupakan keunikan persekutuan Qumran.
            Persekutuan Qumran diatur seperti kedua belas suku Israel dan Yesus memilih dua belas murid untuk menjadi sokoguru jemaat-Nya. Agaknya kedua persekutuan ini menganggap diri mereka sebagai Israel yang benar atau Israel yang eskatologis. Selain itu, hampir tidak ada persamaan di antara keduanya. Sekte di Qumran sangat mementingkan keimaman dan kesucian ritual, sedangkan kedua hal ini sama sekali tidak dianggap penting oleh jemaat Kristen mula-mula. Ciri khas persekutuan Qumran ialah pemisahan dirinya dari Yudaisme secara  umum, yang dianggap sudah menyeleweng dari panggilan Allah. Sedangkan orang-orang Kristen pada masa itu, mengikuti teladan Yesus sendiri, bebas bergaul dengan orang-orang Yahudi lainnya, termasuk mereka yang dipandang rendah oleh kaum Farisi sebagai orang berdosa.
            Baik orang Eseni maupun orang Kristen mempunyai pengharapan eskatologis yang kuat, berbeda dengan kaum Farisi dan Saduki yang cenderung lebih mementingkan masa kini daripada masa yang akan datang. Namun inti pengharapan eskatologis itu cukup berbeda. Kelompok di Qumran menanti-nantikan dua orang mesias, berupa seorang raja dan seorang imam; sedangkan jemaat Kristen percaya Mesias yang satu-satunya sudah datang, yakni Yesus yang mereka pandang sebagai Juruselamat.
Lagi pula makna pengharapan mesianik di Qumran tak dapat dibandingkan dengan makna Yesus Kristus bagi jemaat Kristen. Dalam kepercayaan dan pengharapan orang Eseni di Qumran sama sekali tidak ada unsur yang sebanding dengan keyakinan orang-orang Kristen akan keunikan Yesus. "Guru Kebenaran" yang mendirikan persekutuan Qumran dihormati sebagai seorang guru dan pemberi hukum yang agung, bahkan sebagai perantara suatu "perjanjian baru"; namun dia hanyalah seorang manusia fana dan tidak menjadi Juruselamat, Tuhan ataupun Mesias mereka.
            Jelaslah, perbedaan-perbedaan antara persekutuan Qumran dan persekutuan Kristen mula-mula adalah lebih penting daripada persamaannya. Walaupun begitu, penemuan-penemuan di Qumran sangat membantu kita untuk memahami dunia, yang di dalamnya agama Kristen lahir. Melalui penemuan itu kita dapat melihat betapa beraneka-ragamnya kepercayaan dan pengharapan di dalam agama Yahudi  pada zaman itu. Dan ternyata, beberapa konsep dalam kitab-kitab Injil, seperti pertentangan antara "terang" dan "gelap" dalam Injil Yohanes yang juga ditemukan dalam naskah-naskah Laut Mati, berakar dalam kebudayaan Yahudi pada zaman itu dan bukan akibat pengaruh Yunani atau Gnostik (sebagaimana yang diduga oleh beberapa ahli sebelumnya).
            Lagi pula, seperti yang diterangkan di atas, naskah-naskah Laut Mati sangat penting sehubungan dengan penentuan teks dan kanon Perjanjian Lama. Melalui penemuan ini kita memperoleh kesaksian  yang jauh lebih tua daripada yang dikenal sebelumnya tentang teks asli Perjanjian Lama, demikian juga tentang proses kanonisasi teks tersebut hingga diakui sebagai Kitab Suci oleh agama Yahudi dan agama Kristen.


Kepustakaan Khusus
        1.  Bruce, F.F., 1988. The Canon of Scripture. Glasgow (Chapter House): hlm. 38-42.
2.      Katoppo, P.G., 1991. "Transmisi Teks Alkitab", Forum Biblika 1, hlm 5-7.
3.      Tulastra, E.W. & Hendriks, I.W.J., 1978. Naskah-naskah dari Laut Mati. Jakarta (BPK Gunung Mulia).
4.      Vermes, G., 1965. The Dead Sea Scrolls in English, Harmondsworth. Middlesex (Penguin, cetakan ke-2 dengan perbaikan-perbaikan).
5.      Wurthwein, E., 1979. The Text of the Old Testament: An Introduction to the Biblia Hebraica. Grand Rapids, Michigan (Eerdmans, terjemahan dari edisi Jerman ke-4, aslinya 1983): hlm 3-41.




No comments:

Post a Comment