Pages

Sunday, May 12, 2013

Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Wesleyan


Oleh: D.F. Walker, Ph.D.
"Konfesi" Menurut Tradisi Wesleyan
            Banyak orang yang heran ketika mengetahui bahwa Gereja Methodis Indonesia tidak memiliki "konfesi" sendiri. Mereka mengatakan, "Setelah sekian lama sebagai gereja di Indonesia, sekarang Gereja Methodis harus punya konfesi sendiri". Tetapi gereja-gereja Methodis dan gereja-gereja aliran Wesleyan pada umumnya bukan gereja-gereja yang "konfesional", seperti misalnya gereja-gereja Lutheran dan Reformasi. Memang ‘konfesi" tidak termasuk bagian dari tradisi Methodis. Mengapa demikian?.
  Pada abad ke-16 para reformator sangat insyaf bahwa apa yang Allah lakukan melalui mereka sungguh-sungguh baru. Mereka mau tidak mau harus mengungkapkan secara jelas dan tegas pernyataan iman sebagai pokok utama bagi gereja yang sedang muncul dalam rangka menentang doktrin-doktrin dan tradisi abad pertengahan yang kaku. Dengan demikian gereja-gereja dari berbagai aliran Reformasi di tiap-tiap negeri atau wilayah mempersiapkan konfesi-konfesi mereka, dan masing-masing konfesi itu menjadi dasar bagi perkembangan baru dalam kehidupan gereja dan ajaran-ajaran di wilayah tertentu. (Dengan cara yang agak berbeda, Gereja Roma Katolik juga mengikuti proses yang serupa, melalui keputusan-keputusan Konsili Trent.) Maka muncullah berbagai konfesi Lutheran dan Reformasi yang dirumuskan secara tertulis. Bahkan ada pula usaha-usaha untuk menulis konfesi-konfesi "ekumenis" dengan jalan memadukan berbagai aliran, seperti yang terjadi di Polandia. Yang jelas, usaha untuk membuat "konfesi-konfesi" ini terus berlangsung sampai kini, terutama oleh karena pengaruh tradisi Lutheran dan Reformasi.
            Akan tetapi, asal-usul Gereja Methodis sangat berbeda. Gerakan yang dipelopori oleh Wesley dan rekan-rekannya pada abad ke-18 di Inggris bertujuan untuk membarui gereja-gereja, khususnya gereja Inggris atau Gereja Anglikan. Gerakan baru ini pada dasarnya hendak menyerukan agar gereja-gereja membarui ajaran dan gerak hidupnya yang agak suram. Ketika orang mempersoalkan apa yang menjadi dasar ajaran Wesley, ia mengacu saja pada 39 Articles of Religion (39 pasal Kepercayaan) Gereja Anglikan, suatu dokumen yang berasal dari masa Reformasi. Wesley sendiri tetap menjadi warga Gereja Anglikan dan semasa hidupnya tidak ada "Gereja Methodis" di Inggris dan yang ada hanyalah gerakan Methodis.
            Menjelang akhir abad ke-18 berbagai "gereja-gereja" Methodis berkembang menjadi gereja yang terorganisir (namun tidak semua orang yang mengalami pengaruh Wesley menjadi orang Methodis. Banyak, dan barangkali juga kebanyakan dari antara mereka, tetap menjadi warga gereja Anglikan dan gereja-gereja lainnya, serta kemudian hari menjadi pelopor-pelopor pembaruan di gereja-gereja tersebut). Sekalipun demikian, kaum Methodis tidak menciptakan konfesi mereka sendiri. Ketiga puluh sembilan pasal Kepercayaan yang telah ada, kemudian dipadatkan menjadi 25 pasal dengan menghilangkan beberapa pasal yang tidak relevan lagi bagi abad ke-18. Pernyataan-pernyataan tersebut masih terus digunakan, walaupun tidak mempunyai kedudukan atau kewibawaan yang sama dengan konfesi-konfesi Lutheran dan Reformed. Ternyata, yang lebih berwibawa bagi tradisi Methodis yang berkembang adalah tafsiran-tafsiran Wesley melalui khotbah-khotbahnya dan catatan tafsiran Perjanjian Baru yang disiapkan oleh Wesley.
            Dengan demikian, gereja-gereja Methodis dan gereja-gereja aliran Wesley pada umumnya tidak menyusun "konfesi-konfesi" mereka sendiri. Dari satu segi hal ini lebih menguntungkan karena ada lebih banyak kebebasan untuk perkembangan, kontekstualisasi dan eksperimentasi ekumenis bila dibandingkan dengan gereja-gereja lain. Akan tetapi ada juga kekurangannya khususnya di Amerika, dan sedikit banyak juga terjadi di Inggris, di mana gereja-gereja Methodis sering kali kurang peduli tentang doktrin dan pada umumnya dasar Alkitabiah dan Injilinya terancam lenyap (namun, di banyak bagian dunia ini, khususnya di Asia, hal ini tidak terjadi karena kebanyakan gereja Methodis benar-benar gereja Injili).

Sebuah contoh:
Pernyataan Kepercayaan ITA

            Dengan latar belakang ini, berikut ini kita akan melihat salah satu contoh yang diambil dari Pernyataan Kepercayaan Institut Teologi Alkitabiah (ITA), Bandar Baru, Sumatra Utara. Institut ini didirikan oleh Gereja Methodis Indonesia pada tahun 1983. Sejak awalnya institut ini bertujuan untuk menjunjung tinggi kewibawaan Alkitab dan merelevansikannya dengan gereja dan dunia masa kini. Tujuan itu terungkap dalam nama yang dipilih untuk institut tersebut. "Alkitabiah" berarti bahwa Alkitab merupakan titik tolak dan dasar bagi pendidikan teologi yang diselenggarakan sekolah ini.
            Kendati pernyataan kepercayaan ITA ini tidak dapat dianggap konfesi Methodis yang resmi, namun kita dapat menganggapnya sebagai salah satu usaha Methodis untuk mengungkapkan beberapa asas teologis dalam situasi masa kini. Pernyataan kepercayaan ini dimulai dengan pengantar singkat yang menegaskan bahwa konfesi-konfesi kita adalah konfesi-konfesi dari jemaat Kristen purba (Pengakuan Iman Rasuli, Nicea dan Athanasius), bahwa kita menerima 25 Pasal Kepercayaan Methodis, dan menjunjung tinggi konfesi-konfesi Reformasi serta konfesi-konfesi masa kini, seperti Ikrar Lausanne.
            Setelah itu terdapat pernyataan tentang ke lima bidang yang menjadi perhatian khusus dalam lembaga pendidikan teologi ini, yakni: Teologi Alkitabiah, Teologi Injili, Teologi Wesleyan, Teologi Eumenis dan Teologi Kontekstual. Setiap bagian dimulai dengan rangkuman beserta beberapa alinea yang menjelaskan konsekuensinya. Berikut ini adalah teks bagian pertama Pernyataan Kepercayaan ITA mengenai kewibawaan Alkitab:[1]

Teologi Alkitabiah. Firman Allah dipegang sebagai satu-satunya dasar dan norma untuk kepercayaan dan kehidupan.

            Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah satu-satunya firman Allah yang tertulis. Di dalam Alkitab ini terdapat segala sesuatu yang kita perlukan untuk mengetahui kehendak Allah, untuk mengenal Yesus Kristus dan untuk mengerti jelas keselamatan yang disediakan bagi manusia. Melalui Roh Kudus Alkitab harus diterima sebagai norma yang menentukan keberadaan gereja dan ajarannya, maupun iman dan kehidupan bagi setiap orang.
            Ajaran apa pun yang bertentangan dengan ajaran Alkitab, itu berarti bertentangan dengan kehendak Allah, dan harus juga ditolak oleh umat-Nya. Apa yang tidak dinyatakan secara jelas sebagai pokok kebenaran di dalam Alkitab tidak dapat dituntut menjadi pokok iman atau ajaran yang wajib diterima dalam jalan keselamatan.
            Alkitab berasal dari Allah yang melalui Roh-Nya mengilhami para nabi dan rasul, sehingga mereka menyadari penyataan Allah di dalam pelayanan mereka dan menuliskan penyataan Allah itu dengan benar. Alkitab ini telah disampaikan kepada kita melalui suatu proses penyalinan dan penerjemahan. Melalui proses yang panjang ini Alkitab dipelihara dengan tepat karena pertolongan Roh Kudus.
            Sebagai satu-satunya norma untuk kepercayaan dan kehidupan, Alkitab harus ditafsirkan menurut konteks dan tujuan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya, dalam ketaatan yang memuliakan Allah yang tetap berbicara melalui Firman-Nya yang berkuasa. Dengan demikian, segala sesuatu yang dinyatakan dalam Alkitab berwibawa penuh. Alkitab menjadi dasar kita dalam pengajaran, pemberitaan, kesaksian, dalam hal menyatakan kesalahan dan pembaharuan kehidupan manusia.

Beberapa implikasi Pernyataan Kepercayaan ITA untuk masa kini

            Mungkin ada manfaatnya bila kita melihat hal-hal yang dilakukan dan hal-hal yang dihindari dalam kaitan dengan Pernyataan Kepercayaan ini.
            Pertama-tama, bentuk Pernyataan Kepercayaan tersebut kelihatan sangat berbeda dengan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh perguruan tinggi dan lembaga pendidikan teologi lain, khususnya di Amerika, dan oleh beberapa lembaga Kristen. Pada umumnya lembaga-lembaga ini hanya mencantumkan 10-12 pernyataan yang berusaha merangkum seluruh kepercayaan Injili dan kebanyakan di antaranya mempunyai isi dan kata-kata yang sangat mirip. Bagaimana pun nilai pernyataan itu dalam konteks Amerika, situasi di Indonesia sangat berbeda. Apa yang dilakukan di ITA tidak hanya meniru pernyataan yang dibuat lembaga-lembaga Kristen di luar negeri, melainkan berusaha menjawab kebutuhan khusus akan asas-asas teologis di kalangan umat Kristen Indonesia. Lagi pula, karena pernyataan itu tidak dimaksud sebagai "konfesi" yang lengkap, maka banyak aspek kepercayaan Kristen yang dianut oleh umat Kristen yang lain (seperti Tritunggal, pribadi Kristus dan lain-lain) tidak perlu dinyatakan secara khusus, melainkan cukup dirangkum melalui pengakuan-pengakuan iman dan konfesi-konfesi gereja yang telah ada. Dengan demikian kita dapat memberi lebih banyak perhatian dan kesalah-pahaman dan pertikaian yang mungkin dihadapi di Indonesia.
            Kedua, dalam pernyataan tentang Teologi Alkitabiah, perhatian difokuskan pada peranan Alkitab dalam kehidupan gereja dan umat Kristen. Konsep teoritis tentang kewibawaan Alkitab harus dilihat dalam penerapannya dalam kehidupan umat Kristen. Dengan demikian Alkitab menjadi "satu-satunya dasar dan norma untuk kepercayaan dan kehidupan". Melalui Alkitab dan hanya melalui Alkitab saja, kita dapat mengenal kehendak Allah, Yesus Kristus dan jalan keselamatan. Alkitab dipergunakan sebagai dasar kita "dalam pengajaran, pemberitaan, kesaksian dalam hal menyatakan kesalahan dan pembaruan kehidupan manusia" (bnd. 2Tim. 3:16). Lebih sulit mengatakan apa hakikat Alkitab itu, kecuali mengatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang berasal dari Allah dan ditulis oleh orang-orang yang diilhami oleh Allah untuk tujuan ini.
            Ketiga, dalam mengungkapkan pernyataan ini, kita tidak memakai istilah "tidak dapat salah" atau "tidak dapat keliru" yang sering terdapat dalam pernyataan-pernyataan seperti ini, khususnya di Amerika. Bukan berarti kita hendak menolak istilah-istilah ini sebagai deskripsi, khususnya apabila istilah-istilah tersebut didefinisikan dan diterangkan secara tepat.[2]
            Namun pada dasarnya kita menemukan deskripsi-deskripsi ini tidak menolong kita dalam menjelaskan pengilhaman dalam konteks Indonesia. Lebih-lebih dalam kaitan dengan ajaran agama-agama lain, istilah-istilah ini dapat memberi pengertian yang keliru tentang apa hakikat Alkitab itu. Dengan demikian istilah "tidak dapat salah" atau "tidak dapat keliru" sama sekali tidak perlu dipergunakan.
            Yang dimaksud adalah sebagai berikut: sering kali dinyatakan bahwa kata-kata Alkitab tidak dapat keliru sebagaimana tertulis semula dalam bahasa aslinya, dan kalau pun ada kekeliruan, hal itu hanya terjadi pada penyalinan, transmisi, penerjemahan dan sebagainya. Ini berarti Alkitab yang ada pada kita ini, yang kita baca dan pelajari sekarang mungkin mengandung kekeliruan. Kita hanya percaya bahwa teks yang asli tidak dapat keliru. Bukankah ini mirip dengan apa yang diajarkan agama-agama tentang Alkitab orang Kristen? Agar hakikat Alkitab dimengerti dengan benar, baik di kalangan umat Kristen maupun dalam diskusi-diskusi kita dengan agama-agama lain, kita harus mencari cara-cara lain untuk menyatakan pengilhaman, tidak bergantung pada anggapan tentang kemurnian teks asli.
            Itulah sebabnya dalam Pernyataan Kepercayaan ITA, makna pengilhaman secara hakiki telah diperluas sehingga tidak hanya mencakup penulisan wahyu Allah, tetapi juga penyalinan dan penerjemahan teks yang bersangkutan. Dalam pernyataan itu ditegaskan bahwa penyataan Allah ditulis dengan benar dan Roh Kudus memeliharanya dengan tepatPada masa kini konsep seperti ini perlu menjadi bagian dari setiap pernyataan tentang pengilhaman. Yang penting bagi umat Kristen ialah adanya keyakinan bahwa Alkitab Bahasa Indonesia yang ada pada kita benar-benar firman Allah. Roh Kudus telah mempersiapkannya bagi kita, menyampaikan kepada kita dan kita dapat mempercayainya sebagai Firman Allah sendiri, yang ditulis dengan jelas bagi kita sehingga siapa pun dapat membaca dan mengertinya dengan pikiran yang dibukakan oleh kuasa Roh Kudus.

Penutup

            Dari contoh di atas, jelaslah bahwa Pernyataan Kepercayaan ITA tentang Kewibawaan Alkitab tidak merupakan pernyataan yang lengkap. Masih banyak yang perlu dikatakan tentang masing-masing aspek yang hanya disinggung secara singkat dalam pernyataan tersebut. Namun kita percaya, ini merupakan permulaan menuju suatu teologi dalam konteks Indonesia. Hendaknya hal ini dikembangkan oleh para teolog dan ahli biblika di negeri ini.
            Pemahaman tentang kewibawaan Alkitab dalam konteks Indonesia masa kini jauh lebih penting daripada berbagai teologi konfensional yang mempengaruhi masing-masing pihak dalam membaca Alkitab. Karena itu penulis menyambut penerbitan Forum Biblika nomor 4 yang berusaha menggumuli aspek-aspek yang dapat disebut "Asas Alkitab" (meminjam sebuah judul buku yang ditulis oleh Clark Pinnock tentang topik ini). Kalau penerbitan dalam Forum ini memacu diskusi, perdebatan, penelitian lebih lanjut, dan mudah-mudahan juga membuahkan kesepakatan di kalangan umat Kristen, maka pelayanannya memang sangatlah penting.


[1] Bagian lain dari Pernyataan Kepercayaan tersebut tidak begitu penting dalam pembahasan kita sehingga tidak dicantumkan.
[2] Memang inilah masalahnya dengan pemakaian istilah-istilah seperti itu. Tidak ada orang yang tahu persis apa artinya, atau dengan kata lain, masing-masing teolog memberi makna tertentu kepada istilah-istilah tersebut. Masalah ini hampir sama dengan masalah pemakaian istilah "kesempurnaan" dalam tradisi Wesleyan. Setiap teolog bersusah payah untuk mengungkapkan apa yang tidak dimaksudkan oleh istilah itu, sampai-sampai ia hampir tidak mengatakan apa pun yang positif tentang apa makna sesungguhnya. Lagi pula kesimpulan yang diperolehnya sangat berbeda dengan apa yang dimengerti oleh kebanyakan orang tentang istilah tersebut.



No comments:

Post a Comment