Pages

Sunday, May 12, 2013

Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Injili


Oleh: Pdt. Dr. Yakub B. Susabda
Pendahuluan
            Pandangan teologi Kristen tentang Alkitab mengalami banyak pergeseran dan perubahan sepanjang sejarah. Selama berabad-abad gereja percaya bahwa Alkitab mempunyai kewibawaan (authority) sebagai firman Allah. Oleh sebab itu apa yang tertulis dalam Alkitab mempunyai otoritas penuh dalam menilai dan mengatur tingkah-laku manusia.
            Perkembangan sejarah diikuti dengan perubahan sikap dan penilaian manusia terhadap Alkitab. Masalah "kewibawaan Alkitab' muncul sebagai masalah yang terus menerus mendominasi pergumulan teologi Kristen. Perpecahan gereja sebagian besar lahir dari "perbedaan yang tak terselesaikan" dalam masalah yang satu ini. Apakah sebenarnya inti pokok persoalannya?.
            Perkembangan sejarah diikuti dengan perubahan sikap dan penilaian manusia terhadap Alkitab. Masalah "kewibawaan Alkitab' muncul sebagai masalah yang terus menerus mendominasi pergumulan teologi Kristen. Perpecahan gereja sebagian besar lahir dari "perbedaan yang tak terselesaikan" dalam masalah yang satu ini. Apakah sebenarnya inti pokok persoalannya?.
 Latar Belakang Persoalan dan Perkembangannya dalam Sejarah
            Sejarah gereja menyingkapkan perkembangan dan perubahan sikap dan pengertian gereja tentang apa yang dapat disebut sebagai "wahyu/firman Allah".
1. Gereja di abad-abad permulaan 
            Zaman gereja di abad-abad permulaan adalah zaman perkembangan dan pembentukan kanon Alkitab Perjanjian Baru. Apa yang dapat diterima sebagai wahyu/firman Allah mengalami perubahan secara bertahap. Mula-mula hanya tradisi oral (lisan) dari keempat Injil saja yang diakui mempunyai otoritas firman Allah. Apa yang disebut sebagai firman Allah (yangmempunyai otoritas Ilahi) tak lain ari pada kumpulan ajaran dan peristiwa yang dialami oleh Yesus Kristus (kelahiran, kehidupan, ajaran, pelayanan, kematian dan kebangkitan-Nya).
            Kemudian dengan perkembangan gereja dan munculnya pengkhotbah-pengkhotbah yang "bukan rasul" kebutuhan akan "penafsiran yang tepat atas Injil" dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak. Untuk itulah para rasul mulai menafsirkan, mengajarkan dan menuliskan tafsiran-tafsiran mereka. Injil dalam bentuk kumpulan khotbah (kis. 3:11-25), nyanyian puji-pujian (Yoh. 1:1-14; Flp. 2:1-11), pengakuan iman (1Kor. 15:1-3; 1Tim. 3:6), formula baptisan (Mat. 28:19-20), peraturan dan format Perjamuan Kudus (1Kor. 11:17-34), doxologies (Rm. 11:36), berkat (2Kor. 13:13), dan sebagainya. Barulah pada akhir abad pertama, tafsiran-tafsiran tersebut mendapat bentuknya secara tertulis.
            Tafsiran-tafsiran tersebut mempunyai otoritas/kewibawaan oleh karena dibuat dan diformulasikan olehpara rasul. Oleh karena otoritas kerasulan itulah dengan mudah tafsiran-tafsiran tersebut diterima oleh jemaat Kristen sebagai "firman Allah yang berotoritas Ilahi". Jadi pada akhir abad pertama jemaat Kristen sudah mempunyai kumpulan tulisan-tulisan yang berotoritas/berkewibawaan "firman Allah". Meskipun saat ini beberapa kitab dalam surat (msl. Ibrani, Yudas, 2 Petrus, 2 & 3 Yohanes dan Wahyu) masih belum dapat diterima sebagai "firman Allah", jelas bahwa jemaat sudah menetapkan prinsip penyeleksian atas dasar mana suatu tafsiran dapat diakui berkewibawaan Ilahi. Mereka menetapkan bahwa tafsiran para rasul sajalah yang dapat diterima sebagai tafsiran dan tulisan yang berotoritas firman Allah. Mereka percaya bahwa Kristus memberian wahyu khusus kepada para rasul.
            Pada abad kedua, kanon Perjanjian Baru belum terbentuk. Munculnya kanon bidat Marcion (tahun 144) dan ajaran-ajaran dari Gnostik Kristen telah memacu tekad gereja dalam proses kanonisasi tersebut. Barulah pada tahun 397 dalam konsili di Cartago ke 66 Kita diterima dan ditetapkan sebagai kanon Alkitab, atau kumpulan Kitab yang mempunyai kewibawaan firman Allah. Dengan demikian gereja di abad-abad permulaan menetapkan bahwa Alkitab mempunyai kewibawaan tertinggi. Tidak ada tulisan-tulisan atau tafsiran-tafsiran lain, baik itu tafsiran yang dibuat oleh gereja, maupun keputusan-keputusan konsili yang mempunyai kewibawaan lebih dari Alkitab.
2. Gereja di abad-abad pertengahan 
            Pergumulan dengan masalah kewibawaan Alkitab memang sudah dirasakan sejak abad-abad permulaan khususnya abad-abad ketiga dan keempat. Munculnya bidat-bidat dengan tafsiran-tafsiran "yang lain" (tentang Allah dan Tuhan Yesus) merupakan bukti dari adanya penolakan terhadap kewibawaan Alkitab. Perdebatan di konsili-konsili (nicea dan Chalcedon) sebenarnya berakar pada keragu-raguan apakah gereja bisa menerima "tafsiran-tafsiran yang lain" yang dibuat oleh orang-orang lain yang "bukan rasul".
            Meskipun demikian pergumulan dan perdebatan tersebut selalu dimenangkan oleh gereja yang resmi. Sehingga sampai pada abad ke-13, keputusan-keputusan konsili tetap seperti semula yaiitu Alkitab dan hanya Alkitab yangmempunyai kewibawaan sebagai firman Allah. Bahkan Thomas Aquinas (1225-1274) juga menegaskan bahwa "tulisan-tulisan teolog/doctor memang mempunyai kewibawaan tetapi kewibawaannya tidak pernah lebih tinggi dari pada Alkitab".
            Barulah pada abad ke-14 posisi ini mulai melemah. Kegagalan gereja untuk dapat membuktikan keabsahan sikapnya telah mengundang keragu-raguan orang terhadap kewibawaan Alkitab. Orang mulai bertanya-tanya, "Bagaimana kalau tafsiran gereja ternyata tidak sesuai dengan Alkitab?" "Yang mana dari kelima hal ini mempunyai kewibawaan tertinggi? Apakah Gereja Paus, konsili, tradisi atau Alkitab itu sendiri?" di mana kewibawaan harus ditempatkan?
            Pergumulan dan perdebatan di abad pertengahan ini tidak ada habisnya sampai pada abad Reformasi di mana melalui konsili-konsili di Trent (13 Desember 1545-1563), gereja Katolik secara resmi menentukan sikap yang berlawanan dengan kaum Protestan. Mereka menetapkan bahwa: (a) ada "dua sumber wahyu Allah yang mempunyai kewibawaan yang sederajat" yaitu Alkitab dan tradisi. Dan (b) Firman Allah dapat diterima manusia melalui Alkitab dan tradisi-tradisi yang tidak tertulis (John Leith, Creeds of the Christian Church, New York: Double Day, 1963, p.402).
3. Gereja di abad-abad Reformasi 
            Gereja-gereja Protestan (Lutheran, Reformasi, Baptis dan sebagainya) memang lahir karena penolakan "gereja yang resmi (katolik)" terhadap kewibawaan Alkitab. Pengakuan akan adanya "tafsiran-tafsiran lain" (Tradisi, Konsili, Paus) mempunyai kewibawaan sebagai firman Allah telah terbukti menghasilkan kebobrokan kehidupan gereja. Gereja tidak lagi mempunyai pegangan. Firman Allah sudah bergeser menjadi "opini manusia."
            Meskipun demikian para reformator menyadari bahwa pengakuan Kristen atas kewibawaan Alkitab tak mungkin dapat dipertahankan hanya atas dasar "kerasulan si penulis Alkitab". Para reformator melihat bahwa kewibawaan Alkitab tidak lahir dari bukti bahwa "para rasul yang menulis" tetapi dari memberikan inspirasi atas penulisan tersebut. Oleh sebab itu Calvin menegaskan bahwa:
The authority of the Scripture is intrinsic. Authority derives from the Holy Spirit who inspired it, caused it to be written, and gave it to the church.
The Scripture now needs no reason or proof to substantiate its present testimony of the Spirit. Consequently Christian who believe the Bible do not do so because of proofs or marks of genuineness upon which our judgment may lean; but we subject our judgment and wit to it as to the thing far beyond any guesswork (Institutes of the Christian Religion, I, III, 4, VII, 1, 5).
            Sikap dari para reformator hampir semuanya sama, baik itu Lutheran, Calvin maupun Zwingli. Bahkan menno Simons dan Anababtist juga berpegang pada iman yang Orthodox yang mengakui kewibawaan Alkitab sebagai wahyu Allah.
            Pada abad-abad reformasi, hanya kaum Arminian dan Wesleyan yang
(hal 46 - tidak ada)
            (hal. 47) dan yang menginspirasikan tulisan-tulisan tersebut, yang tak mungkin menjadi objek pengamatan dan penilaian rasio manusia. Kewibawaan Alkitab hanya dapat dialami jikalau manusia dengan rendah hati membarikan Alkitab berbicara sebagaimana adanya. Inilah prinsip doktrin inerrancy yang mengakui keabsahan dan kewibawaan Alkitab.
5. Gereja di abad ke XX
            Gereja di abad ke XX menghadapi realita himpitan rasionalisme dan empirisme yang semakin berat. Gereja sadar bahwa secara rasional gereja tidak mungkin dapat melawan rasionalisme. Doktrin inerrancy tak mungkin dapat membendung rasionalisme karena inerrancylahir dari iman (yang mengaku keberadaan dan kedaulatan Allah) dan bukan pengamatan rasional tentang apa yang tertulis dalam Alkitab. Bahkan gereja melihat bahwa usaha untuk membangun doktrin inerrancy atas dasar observasi empiris dan pembuktian rasional adalah tindakan "fundamentalistik self-defeating". Gereja akan semakin terisolir dan tidak mampu menyaksikan imannya di tengah dunia.
            Dengan kesadaran ini Karl Barth mencoba menghidupkan kembali spirit reformasi yang sudah hilang. Ia sadar bahwa kewibawaan Alkitab tak mungkin dipertahankan atas dasarproofs. Ia percaya bahwa kewibawaan otoritas yang dimiliki Alkitab hanya karena realita "inspirasi Roh Kudus" yang ada di belakang penulisan Alkitab dan di dalam pengalaman orang-orang percaya pada saat mereka membaca, merenungkan dan memberitakan berita Alkitab. Pengalaman dengan inspirasi Roh Kudus "inilah merupakan pengalaman" encountering, yang menjadi satu-satunya pegangan dan jaminan kemurnian iman Kristen yang sejati.
            Jadi, bagi Barth, kewibawaan Alkitab sebenarnya terletak pada fungsinya. Sebagaiwitness atas "encountering antara penulis Alkitab dan Roh Kudus", Alkitab berfungsi menjadi sarana yang menstimulir terjadinya pengalaman encountering yang akan dialami oleh orang-orang percaya pembaca Alkitab. Jadi, bagi orang-orang percaya zaman ini, Alkitab pada dirinya sendiri bukan "firman yang diwahyukan Allah". Kebenarannya tidak obyektif. Kebenarannya adalah kebenaran subyektif, yang ditangkap dan dialami oleh orang percaya melalui"encountering dengan Roh Allah". Dengan pandangan Barth ini, kewibawaan Alkitab hancur. Manusia bisa mengaku mengalami "encountering dengan Roh Allah" melalui sarana apa saja. Yang utama adalah "encountering itu sendiri."
            Sikap dari gereja-gereja di abad ke XX terbagi-bagi (David H. Kelsey, Uses of Scripture in Recent Theology, Phil. Fortress, 1975). Ada yang menempatkan kewibawaan Alkitab padacontent-nya, ada yang menempatkan otoritas tersebut pada "fungsinya", ada pula yang tetap berpegang pada iman Ortodoks dan mengakui bahwa kewibawaan Alkitab terletak pada "kebenaran yang obyektif. Judgment, pengamatan, penilaian, dan pengalaman manusia tidak menjadi penentu kewibawaan Alkitab, karena Alkitab pada dirinya sendiri sudah mempunyai kewibawaan oleh karena Alkitab adalah kitab yang diinspirasikan Roh Kudus.

Alkitab dan Kewibawaannya 
            Apakah memang Alkitab memiliki kewibawaan? Untuk pertanyaan ini barangkali 9 dari 10 orang Kristen akan menjawab "ya". Suatu respon yang sudah kita duga, yang menyenangkan kita, tetapi yang tidak legitimate merupakan pengakuan akan kewibawaan Alkitab. Respon yang sama akan kita temukan jikalau pertanyaan serupa diajukan kepada umat yang beragama lain dengan buku suci mereka.
            Banyak orang berpendapat bahwa masalah kewibawaan adalah masalah hak dan kuasa Alkitab bisa diakui sebagai kitab yang mempunyai kewibawaan, tetapi jikalau kewibawaannya tidak mempunyai kuasa mengatur sikap dan tingkah-laku maka kewibawaan tersebut adalah semu. Dengan kata lain, bagi orang-orang tersebut, Alkitab hanya mempunyaihak tetapi tidak mempunyai kuasa. Mereka mengakui bahwa Alkitab seharusnya mempunyai kewibawaan tetapi realitanya tidak.
            Cara berfikir dengan logika Carthesian ini sebenarnya merupakan cara berpikir rasionalisme dan emprisme. Jikalau cara berpikir ini diterapkan dalam hubungan dengan Allah, maka pada akhirnya Allah-pun (kalau diakui keberadaan-Nya) tidak mempunyai kewibawaan dan otoritas dalam hidup manusia. Sebabnya, memang dalam konteks cara berpikir Carthesian,ruang bagi Allah dan hal-hal metafisika tak ada. Semua harus menjadi obyek pengamatan dan penilaian rasio manusia. Allah pun harus menjadi bagian dari hukum alam yang "predictable" dan "reasonable".
            Bicara mengenai kewibawaan Alkitab, adalah bicara mengenai hubunga antara Allah, Alkitab dan orang percaya. Munculnya modernisme dan liberalisme zaman ini pun tidak bakal menggeser dan meniadakan "fakta" bahwa orang Kristen masih menyatukan hubungan antara Allah dengan Alkitab. Dengan kata lain, apa yang orang Kristen pikirkan tentang Allah "tidak pernah lepas" dari apa yang mereka pikirkan tentang Alkitab. David Kelsen mencatat bahwa:
Virtually every contemporary Protestan theologian along the entire spectrum of opnion from the ‘neo-evangelicals' through Karl Barth, Emil Brunner, to Andreas Nygren, Rudolf Bultmann, Paul Tillich and Fritz Buri, has acknowledged that any Christian theology worthy of the name ‘Christian must, in some sense of the phrase be done' in accord with Scripture (The Uses of Scripture n Recent Theology, Phil.: Fortress Press, 975, p.1).
            Jadi, pembicaraan tentang kewibawaan Alkitab adalah pembaraan yang tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang Allah. Pengakuan minimal akan adanya campur tangan Allah di belakang penulisan Alkitab saja sudah dengan sendirinya akan membebaskan orang percaya dari jerat kemutlakan Chartesian method. Jikalau orang percaya mengakui akan keberadaan dan kedaulatan Allah, mereka seharusnya akan juga mengaku adanya kewibawaan yang "obyektif" dari Alkitab.
            Kewibawaan Alkitab bukan kewibawaan yang diberikan oleh gereja atau konsili, atau orang-orang percaya. Kewibawaan Alkitab adalah kewibawaan obyektif yang tidak tergantung pada pengalaman, perasaan, dan sikap orang-orang peraya. Kewibawaan Alkitab adalah kewibawaan "dari Allah" yang ikut campur di belakang penulisan setiap kitab dalam Alkitab.
            Kewibawaan obyektif ini diberikan Allah untuk maksud tertentu sesuai dengan rencana keselamatan-Nya dalam Kristus Yesus. Kalaupun kewibawaan ini juga applicable dalam aspek-aspek kehidupan manusia seutuhnya, kewibawaan pada dirinya sebenarnyaindependent dari orientasi dan kebutuhan hidup manusia.
Paulus mengatakan bahwa:
Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia(1Kor. 2:9).
            Tidak heran jikalau manusia tidak merasakan seara langsung "kuasa" dari kewibawaan Alkitab tersebut. Karena pengalaman dengan "kuasa kewibawaan Alkitab" hanya dialami oleh mereka yang mengasihi Dia. Yang semangat dan tingkah laku hidupnya tidak tergantung pada "pembuktian-pembuktian" rasional dan empiris atas mana yang dapat diterima atau mana yang tidak dari Alkitab. Tetapi semata-mata tergantung pada "pengalaman keselamatannya di dalam Kristus" yang menyebabkan dirinya tunduk di bawah otoritas Alkitab. Untuk menegaskan hal ni Paulus mengatakan, "dunia tidak mengenal hikmat Allah maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil". (1Kor. 1:21).
Kewibawaan Alkitab dan Kehidupan Jemaat 
            Hubungan antara kewibawaan Alkitab dan kehidupan jemaat makin lama makin menjadi masalah teologi. Kalaupun jemaat percaya akan kewibawaan obyektif dari Alkitab, kepercayaan tersebut tidak dengan sendirinya membuat jemaat dapat mendengar firman Allah setiap kali mereka membaca Alkitab. Jadi ternyata dalam kehidupan jemaat, ada gap antara "Alkitab yang tertulis dan firman Allah yang hidup". Dan gap ini memberikan tantangan untuk pertanggungjawaban iman yang harus dihadapi oleh setiap orang percaya.
            Selama berabad-abad gereja bergumul dengan usaha untuk menjembatani gap yang naturnya sebenarnya gap antara "text and meaning" tersebut. Karl Barth menganjurkan jemaat membebaskan diri dari text dan mencari meaning melalui pengalaman "encountering  dengan Roh Allah" (Church Dogmatics, Trans. G.T. Thomson. Edinburg T & T Clark, 1977, 1 parts 1-2) Rudolf Bultmann percaya bahwa jemaat hanya bisa mendengar firman melalui usahademythologizing text Alkitab (Exixtence and Faith Shorter Writings, Trans Schubert Ogden New York Meridian Books, 1960). B.B. Warfield menegaskan bahwa "text and meaning" satu adanya. Kalaupun dirasakan dan dialami sebagai dua hal yang terpisah, sikap jemaat yang terbaik adalah melihatnya dalam kesatuan. Oleh sebab itu hal mengatasi gap tersebut adalah hal pertanggungjawaban iman yang hanya dapat dilakukan melalui tugashermeneutical/interpretive yang sehat (The Inspiration and Authorty of the Bible, Phil.Presbyterian and Reformed Pub. 1970, p.299).
            Tugas hermeneutical/interpretive yang sehat adalah tugas setiap orang percaya. Sudah waktunya jemaat mengalami kewibawaan Alkitab melalui langkah "pertanggungjawaban" iman ini.
Kewibawaan Alkitab dan pekerjaan Roh Kudus 
            Salah satu tekanan yang terbesar dalam ajaran para reformator (Calvin dan Luter) adalah menghubungkan pekerjaan Roh Kudus dengan Alkitab. Mereka menolak adanya "personal revelations from the Holy Spirit" oleh karena Roh Kudus tidak pernah memberikan wahyu yang baru di luar Alkitab. Tuhan Yesus mengatakan bahwa:
Roh Kudus ... akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu ... Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran, sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri tetap segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dikatakan-Nya. Ia akan memberikan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. (Yoh. 14:26; 16:13-14).
            Peranan Roh Kudus begitu jelas. Ia adalah Roh yang menyertai orang precaya (Yoh. 14:16-17) dan menolong orang percaya untuk dapat mendengar firman Allah. Hal mendengar firman (hal mengalami kewibawaan Alkitab) "adalah peristiwa yang hanya terjadi oleh karena pekerjaan Roh Kudus. Manusia pada dirinya sendiri tidak mempunyai modal apa pun juga. Oleh sebab itu pertanggungjawaban iman dalam hermeneutical approach, harus dipahami dalam konteks pemahaman akan pekerjaan Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus hermeneutical/interpretiveyang sehat sekalipun tidak akan memberikan pengalaman dengan kewibawaan Alkitab.


No comments:

Post a Comment