Pages

Sunday, May 12, 2013

Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Presbyterian


Oleh: Pdt. O.E.Ch. Wuwungan, D.Th.[1]
Pendahuluan
            Kewibawaan Alkitab berhubungan dengan penyataan atau wahyu. Masalah wahyu tidak mudah karena berbagai pemahaman dan rumitnya sikap agamawi. Ada beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan: Siapa yang mengadakan wahyu? Kepada siapa? Dengan cara apa? Di mana? Kapan? Wahyu khususnya ditujukan kepada manusia karena ia mengambil sikap terhadap hal itu atau menjawabnya. Wahyu adalah komunikasi antara dia yang ada, sang pelaku, kadang kala disebut kekuatan yang tidak kelihatan, sang Ilahi atau Allah, dengan manusia melalui indra, penglihatan atau mimpi. Waktu dan tempat wahyu terjadi biasanya tergantung pada pelaku, namun dapat juga diterima karena doa. Menurut Paul Tillich (1956:132): "Wahyu adalah suatu gejala yang khusus dan luar biasa. Apa yang tertutup yang secara khusus dan luar biasa tersembunyi itu sering disebut misteri...[2]

[1] Makalah ini diangkat dari karangan bahasa Inggris dalam buku Understanding and Translating the Bible, American Bible Society, (New York, 1974, 218-233), yang dibuat penulis dengan judul: Authority and Revelation.
[2] Tillich 1956.
Mesti ada hubungan antara yang menyampaikan wahyu dan yang menerima wahyu. Hubungan itu tidak terbatas pada ruang dan waktu, atau dengan kata lain, pada kondisi atau pada suatu angkatan. Wahyu mengungkapkan sesuatu, mengandung pesan, dan acap kali memberi inspirasi dan menggerakkan ke suatu tujuan. Wahyu bukanlah suatu kejadian yang membaut orang tidak bereaksi, tetapi justru menggerakkan untuk mengambil keputusan dan bertindak. Kalau tidak ada efeknya, wahyu itu sama sekali tidak ada gunanya. Oleh sebab itu, whyu mengandung wibawa karena mengakibatkan manusia untuk mengambil sikap dan menggerakkannya untuk bertindak. Wahyu adalah sarana bagi pelaku untuk menyampaikan pesan atau perintah. Suatu masalah dapat timbul berkenaan dengan wibawa pesan yang diwahyukan dan wibawa pesan yang diteruskan (tradisi atau terjemahan pesan itu. Antara saat wahyu disampaikan dan saat penerusan (relay) wahyu itu ada proses interpretasi dalam diri orang yang berfungsi sebagai pengemban wahyu atau sebagai penyampaiannya (penyampai pesan). Wahyu sering disesuaikan dengan kemampuan manusia untuk memahaminya. Namun interpretasi dapat mengalami perbedaan pemahaman karena menerima penerusan wahyu berbeda dan sering terpisah oleh jarak waktu dan tempat.
            Wahyu bukanlah pengungkapan lengkap misteri atau kerahasiaan sang Ilahi. Pengungkapan lengkap akan melenyapkan kerahasiaan sang Ilahi itu, dan dengan demikian akan hilang pula maknanya dan daya trik serta fungsi wahyu itu. Pewahyuan secara menyeluruh akan menjadi obyek manipulasi rasional, sehingga dapat diredusir (diperkecil), dikembangkan atau pun diabaikan. Wahyu semacam itu menjadi suatu gagasan, suatu pengungkapan murni, yang sama sekali terlepas dari kenyataan peristiwa dan kenyataan pengalaman. Bayangan yang diterima itu samar-samar, suatu pemikiran yang tidak sama (bnd. 1Kor. 13:12). Antara dia yang tersembunyi, yang rahasia dan penerima wahyu ada jurang yang dapat mencelakakan dan membinasakan setiap orang yang berani mendekatinya walaupun hanya karena ingin tahu (bnd. Kel. 19;12, 13, 21). Memang wahyu diberikan secara langsung, namun dengan wibawa dan tidak sama sekali terbuka. Kewibawaan yang dimaksud ialah supaya kehendak yang mengungkapkan wahyu itu ditaati.
            Perhatian khusus diberikan kepada wahyu yang lazim disebut ‘firman Allah', Sebagai contoh refleksi diambil dua nas: Kel. 2:23-4:17 dan Yoh. 1:1-18. Diharapkan penelitian ini memberikan sumbangan pikiran ke arah teologi penerjemah Alkitab.

Interpretasi terhadap Kedua Nas Pilihan

            Keluaran 2:23-4:17 mengungkapkan pewahyuan langsung dan implikasi penyampaian pesan wahyu itu. Ada dua factor yang memainkan peran dalam komunikasi ajaib itu: Allah sebagai pemrakarsa atau pelaku dan manusia sebagai penerima. Pada pihak penerima ada tahap-tahap penerimaan: Musa menerima pesan itu sebagai tangan pertama, lalu meneruskannya kepada Harun (tangan kedua) dan Harun meneruskannya kepada para tua-tua dan kepada umat Israel (tangan ketiga).
            Wahyu didahului oleh suatu peristiwa yang tidak biasa, yang aneh, yang menarik perhatian Musa. Musa heran, lalu karena ingin tahu ia mendekat untuk memeriksa. Manusia cenderung untuk memerpoleh jawaban atas gejala yang ditemuinya, yang tidak dikenalnya, yang gaib dan rahasia. Ia selalu berusaha menerobosi tabir rahasia dan memperoleh keterangan pasti yang memuaskan rasa ingin tahunya. Namun pada peristiwa ini Musa sama sekali tidak diberi kesempatan. Ia tidak diperbolehkan menyingkapkannya (3:5). Ada suatu batas antara Dia yang rahasia yang akan menyatakan dirinya dan dia yang akan menerima penyataan atau wahyu itu. Penyapaan terhadap Musa dengan namanya adalah suatu pendekatan yng khas, yang menimbulkan hubungan pribad yang menggerakkan pengambilan sikap. Penyapaan itu sendiri adalah suatu bentuk wahyu karena Allah sendiri menyingkapkan kerahasiaan-Nya dan membuat dirinya dikenal (3:6). Wahyu adalah pendekatan Allah terhadap manusia, bukan sebaliknya. Ia memperkenalkan diri-Nya dengan menghubungkan diri-Nya dengan tokoh-tokoh terkenal masa lampau. Dengan cara itu, sejarah digunakan sebagai alat untuk wahyu. Manusia digunakan untuk menyingkapkan kehendak dan rencana Allah. Unsur yang paling penting bukanlah gejala yang aneh yang membangkitkan rasa ingin tahu (3:2, 3), yang juga adalah bagian dari wahyu, tetapi kandungan pesan dalam wahyu itu. Penderitaan umat Israel di Mesir sudah mencapai puncaknya (2:23, 24), dan Allah siap mengambil tindakan. Rencana tindakan-Nya itu diungkapkan atau diwahyukan-Nya kepada atau melalui Musa (3:7-10). Pernyataan-Nya itu yang juga mengandung wahyu, berisi suatu panggilan atau suatu penugasan untuk penerima pesan. Di sinilah letak wibawa wahyu itu: bukan saja larangan untuk menyingkapkan dengan akal budi kerahasiaan apa yang disebut kudus (3:5), tetapi juga tindakan Allah untuk mengatasi krisis social yang pada waktu itu amat actual dan rawan. Hidup atau matinya umat Israel bergantung pada tindakan Allah itu semata-mata dan untuk tujuan itu Musa dipilih sebagai perantara antara Allah dan umat Israel dan antara Allah dan Firaun. Pada waktu yang sama Musa harus bertindak sebagai pemimpin umat (3:10). Sikap pertama Musa ialah menolak penugasan itu. Ia ragu terhadap kemampuannya sendiri (3:12). Patut diperhatikan reaksinya terhadap wahyu itu sejak permulaan peristiwa: ia heran dan tergerak karena rasa ingin tahu (3:2, 3); ia segera menjawab ketika disapa (3:4); ia takut ketika Allah memperkenalkan diri-Nya (3:6). Ada satu maksud pesan lagi yang penting di samping tindakan Allah untuk menyelamatkan, yakni supaya umat Israel menyembah (kata kerja bnd. dalam bahasa Ibrani[1]Allah di gunung Horeb. Dengan kata lain, bila Firaun dianggap sebagai yang ‘punya wibawa' untuk ditaati, maka dalam keadaan yang sama sekali baru untuk ditarik ke dalam orbit ‘wibawa' Allah. Kebebasan tidak akan menjadi anarki, tetapi suatu hubungan yang erat dengan Dia yang telah menyatakan diri-Nya. Ketaatan kepada Firaun diganti dengan ketaatan kepada Allah, kalau ketaatan dianggap sebagai konsekuensi atau fungsi wibawa. Ada dua sebab orang yang bersikap taat: secara positif, karena rasa hormat atau rasa kagum terhadap yang memiliki wibawa; atau secara negatif, karena rasa takut atau segan.
            Menjawab perasaan Musa yang penuh keraguan, Allah dengan jelas menentramkannya: ‘Aku menyertai engkau'. Sekali lagi ditekankan bahwa kuasa atau wibawa pada Musa adalah wibawa  yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan kuasa ini akan dinyatakan (NEB dan NAB menggunakan istilah proof, sedang terjemahan-terjemahan lain istilah sign untuk menerjemahkan kata Ibrani (‘ ôt). Rosin menerangkan bahwa ‘tanda' (sign) atau ‘bukti (proof) menunjuk kembali pada peristiw semak terbakar, dan bahwa ayat 12b menyingkapkan arti tanda itu. Setelah rencana pembebasan terlaksana di bawah kepemimpinan Musa, Musa dan umat yang dibebaskan itu akan kembali ke tempat tanda itu memberi penghormatan kepada Allah (1963:77). Penafsir-penafsir lain seperti Driver (1953:23) dan Gispen (1951:53) menerangkan tanda itu dengan tujuan misi Musa. Bahwa umat sebagai suatu keseluruhan akan menyembah Allah di tempat yang sama di gunung, di mana Musa kini berdiri, merupakan jaminan bahwa Allah telah mengutusnya. Maksud tanda itu ialah untuk memberi keberanian kepadanya dan kehadiran Allah itu adalah jaminan bahw tugas yang akan dijalankan akan berhasil (Heinisch 1934:51).
            Hubungan erat timbal balik antara wibawa dan wahyu terasa di sini: Allah menyatakan dirinya, Ia memberi tugas, Ia menyatakan diri sebagai jaminan. Namun Musa belum dapat diyakinkan oleh pernyataan-pernyataan yang tegas dari Allah. Ia tetap ragu-ragu apakah umat akan menerimnya, khususnya bila ia ditanyai tentang nama Allah. Pada hakikatnya di sini Allah ditantang untuk menyingkapkan kerahasiaan yang menyangkut diri-Nya. Nama mewakili orang yang menggunakan nama itu. Seseorang dikenal karena nama dan tindakan-tindakannya. Gabungkan nama dan tindakan-tindakannya, maka jati diri dan ciri-ciri seseorang akan dikenal. Mengenal nama suatu berhala sama artinya dengan meperoleh kuasa atas berhala itu (Rosin 1963:79). Penyingkapan nama dari pihak Allah adalah Wahyu. Apa artinya Aku adalah Aku?[2]Penjelasan TOB sangat menarik (lih. Catatan kaki hlm. 38-39; yang diterjemahkan):
          Tetapi kalimat penuh teka-teki: Aku ada (atau Aku akan ada) yang Aku ada (atau akan ada) tidak mudah memberi pengertian. Mungkin dapat dimengerti kalimat: Aku ada yang Aku ada, artinya, Aku tidak mau atau tidak dapat katakan siapa Aku (bnd. Kej. 32:30; Hak. 13:18, ketika malaikat TUHAN tidak mau mengatakan namanya). Sebagaimana konteks menunjukkan bahwa pada akhirnya Musa menangkap sebenarnya suatu nama yang dapat digunakan sebagai tanda, dan ayat 14 menunjukkan sesuai interpretasi itu, ‘bahwa juga nama YHWH yang dinyatakan pada ayat 15 pun tidak sepenuhnya mengungkapkan rahasia Allah. Allah tidak mungkin dipagari dengan kata-kata. Juga dapat diartikan bahwa Aku yang adalah Dia yang ada adalah bertengangan dengan para ilah yang tidak ada (Yes. 43:10) atau yang hampa (Yes. 41:24). Terjemahan dalam bahasa Yunani, Septuaginta, memberikan arti itu.
Akhirnya dapat dipertimbangkan semua nilainya dengan memperhatikan bahwa konteks berbicara tentang Allah yang hadir bersama Musa untuk membantu-Nya dalam karya keselamatan (3:12; 4:12, 15) dan bahwa bentuk kata kerja yang digunakan dalam bahasa Ibrani punya arti yang menunjuk ke masa kini atau ke masa depan. Dengan demikian kalimat: Aku ada yang Aku akan ada hendak menegaskan bahwa: Aku ada di sana bersama secara yang engkau akan liht. Melalui sejarah keselamatan terhadap manusia Allah memperlihatkan secara lambat laun Siapa Dia..."
            Dengan nama itu Allah hendak menegaskan bahwa Ia hadir di tengah manusia, di tengah bangsa Israel. Ia ingin dikenal dan diingat dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya dengan nama yang berkaitan dengan sejarah (3:15, 16)[3].
            Bagian akhir pasal 3 (ay. 15-22) secara panjang lebar membahas wahyu yang mengandung pesan  (bnd. ay. 7-10). Di sini secara rinci diterangkan strategi dan diplomasi rencana ‘penyelamatan': gerakan membujuk para tua-tua Israel, gerakan untuk meyakinkan Firaun, gerakan untuk memperoleh barang-barang perhiasan orang mesir, gerakan pemindahan ke tanah yang berlimpah susu dan madu.
            Namun Musa tetap meragukan apakah umat akan mau mendengarkannya. Dengan kata lain, ia tidak pasti apakah mereka akan percaya bahwa ia telah menerima wahyu atau wibawa pesan yang diembannya. Ia seakan-akan menuntut lebih banyak bukti-bukti konkret untuk meyakinkan penerimaan-penerima lain terhadap wahyu itu, yakni bukti-bukti yang menegaskan bahwa di balik pesan itu ada wibawa Allah, jadi bukan saja suatu bukti yang akan terpenuhi di masa depan (3:12b) atau suatu keniskalan nama (3:14), atau suatu nama yang dikaitkan dengan masa lampau (3:15, 16 dst.) Tiga tanda (‘ ôt) diberikan kepadanya untuk meyakinkan (‘ m n hiph) orang Israel. Nampaknya tanda-tanda ajaib diperlukan untuk meyakinkan orang terhadap wibawa Allah. Masih saja Musa meragukan kemampuannya untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan. Di sini kata Ibrani d b r  penting artinya. Musa masih saja ragu-ragu terhadap kemampuannya sebagai ‘is debārim (NEB: a man of ready speech; NAB: eloquent), juga ketika Tuhan berbicara kepadanya (d b r), karena ia menganggap dirinya k e b a d - p  è h û k e b a d l ā s o n (NEB: slow and hesitant of speech). Masalah yang ditimbulkan di sini ialah cara mengkomunikasikan pesan ke dalam kata-kata manusia. Ditekankan bahwa Allah mengaruniakan manusia  kemampuan untuk berbicara, berkomunikasi secara lisan. Ayat 4:12 mengungkapkan interaksi antara Allah dan manusia untuk melancarkan komunikasi pesan itu. Apakah dapat dikatakan bahw di sini tersirat unsur ‘inspirasi' di samping kebebasan dan kelemahan manusia untuk menjadi ‘medium' inspirasi? Tiap kali lagi Musa menolak, bahkan ingin mengalihkan tugasnya itu kepada orang lain. Kita lihat bagaimana cara berkomunikasi itu beralih dari penerima pertama ke penerima ke dua (Harun). Dengan jelas ayat 15 menggambarkan interaksi yang dapat terjadi antara Allah, Musa dan Harun (kembali kata d b r punya arti yang penting di sini). Fungsi Harun sebagai juru bicara (NEB: mouthpiece0, dan Musa menjadi ‘wakil' Allah (Ibr. Elohim)[4]. Keinginan Musa untuk melepaskan diri dari Allah dicegah. Ia tak dapat menentang wibawa Allah dan menggagalkan rencana keselamatan-Nya. Mau tak mau, ia harus berperan serta dan terlibat di dalamnya. Ia diberikan segala jaminan yang diperlukan untuk membantunya secara konkret (tanda-tanda dan Harun), dan di atas semua itu, walaupun tidak kelihatan, kehadiran Allah. Musa tidak dapat lagi menolak. Firman Allah tidak akan kembali dengan hampa. Misi sebagaimana dijelaskan harus dilaksanakan. Di sinilah letak wibawa firman Allah.
            Penulis Injil berbicara tentang firman Allah sebagai wahyu (Yoh. 1:1-18). Ia berefleksi dan berusaha mengungkapkan permasalahannya. Hasil pergumulannya dan pernyataannya itu sendiri menjadi suatu perwahyuan, suatu penyingkapan hakikat firman itu. Di kelima ayat pertama ia tekankan bahw firman itu sudah ada (pra-ada) sebelum sejarah dimulai dan bahwa Firman itu adalah awal dari segala sesuatu yang tercipta atau adalah sumber segala yang hidup (NEB: all that came to be was alive with his life). Atau dengan kata lain, sejarah tak akan terjadi tanpa adanya Firman itu (Logos). Smelik (1965:12-13) cenderung menggunakan istilahsprake (‘ucapan') dari pada istilah Woord (‘Firman; BNA: parole dari pada mot). Nampaknya ada perbedaan arti antara (verbum) dan ucapan (sermo), dan menurut Calvin, antara rhemadan Logos. Dalam Logos diuraikan dinamika atau unsur tindakan itu lebih terasa, menurut Smelik. Dengan pemikiran itu Logos berkaitan atau sejajar dengan dabar di Perjanjian Lama. Ada pengembangan pikiran yang menarik pada penulis Injil ini:
  1. Ia mulai menerangkan tentang apa Firman itu, tetapi kemudian ia bergeser menjadi dan menerangkan siapa friman itu; ‘sesuatu' menjadi ‘seseorang';
  2. Firman dan Allah adalah dua keberadaan yang asasi, yang bertindih tepat satu sama lainnya sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.

            Pada ayat 1 keadaan Friman itu digambarkan seakan-akan itu sesuatu yang statis. Pemahaman-pemahaman mengenai latar belakang istilah logos banyak di dunia Hellenistik di kala itu (bnd. Smelik 1965:25-27)[5]. Namun, ada hal yang khas tentang Firman itu: Ia satu dengan Allah, atau singkatnya: Ia adalah Allah, bukan saja perantara dengan fungsi kosmologis atau soterilogis sebagaimana anggapan para filsuf (lih. Bultmann 1962:10). Menurut Smelik: "Firman itu adalah Allah yang menyatakan diri-Nya atau sisi hakikat Allah yang tertuju ke ciptaan-Nya. Dalam firman itu Allah menyatakan diri-Nya, yang merupakan pendekatan diri-Nya ke arah ciptaan-Nya". Menurut Bultmann, Logos dapat disejajarkan dengan sem, yakni nama Allah yang tampil sebagai unsur di samping Allah tanpa menjadi suatu keberadaan yang terpisah. Nama itu lebih banyak mengartikan Allah, selama Ia menampakkan diri dan bekerja (hlm. 17). Segi yang lain Firman Allah itu ialah bahw Ia berdaya cipta, bukan sesuatu yang statis, yang hanya merupakan suatu gagasan atau rekaan. Ia mewujudkan ;sesuatu, Ia memberikan hidup, Ia adalah pedoman hidup, yang tak dapat ditaklukan oleh serangan-serangan kekuatan gelap[6]. Firman itu sendiri adalah energi, suatu daya dan kekuatannya atau kewibawaan, karena dalam terang kitab Kejadian Ia memberi perintah supaya segala sesuatu terwujud dan menjadi suatu ketaatan yang menyeluruh. Tidak ada kekuatan yang dapat merintangi kekuatan yang berdaya cipta itu. Walaupun kata kerja muncul dalam bentuk kala lampu (past tense), namun di ayat 5 bentuk kala kini (present tense) digunakan: phainei. Bultmann menerangkan bentuk kala lampau kata kerja è n seperti ini:
Kata kerja è n tidak membatasi identitas itu hanya pada masa lampau, tetapi yang hendak dinyatakan ialah bagaimana keadaan è n arkhei, pada mulanya, dari sudut yang mengungkapkannya, tanpa menyatakan bahw itu pernah lain keadaannya." (Bultmann 1962:17).
          Itu berarti bahwa Firman itu selalu giat, selalu menyatakan diri-Nya, selalu membarui, karena Ia adalah hidup dan terang. Allah telah menyatakan diri-Nya dalam Firman dan Firman itu adalah terang manusia, lebih lagi, Ia adalah Allah sebagai Pribadi yang datang bertemu dengan umat manusia. Menurut Bultmann:
"Hanya dalam perwahyuan-Nya (yakni:Anak-Nya) Allah itu hadir, dan siapa bertemu dengan wahyu itu, benar-benar bertemu dengan Allah:theos èn ho logos .... Berbicara tentang Allah berarti: berbicara tentang wahyu-Nya; dan berbicara tentang wahyu-Nya, berarti: berbicara tentang Allah. Dan yang dimaksudkan tentang wahyu bukanlah sesuatu yang umum, tetapi Dia yang mewahyukan diri menjadi daging dan jelas merupakan kehendak Allah itu menyelamatkan (Bultmann 1962:18)".
            Pada ayat-ayat selanjutnya diceritakan bahwa Firman itu menjadi manusia (TEV: a human being) sebagai ‘Anak Tunggal Bapa'. Dan anak itu tidak lain adalah Yesus Kristus (ay. 17, 18). Taurat sebagai kehendak Allah yang diwahyukan melalui Musa tidak mengandung cirri-ciri yang khusus sebagaimana Firman yang diwahyukan dalam Yesus Kristus, yang penuh penuh kasih karunia, kharis, dan kebenaran, aletheia (ay. 14, 16, 17). Hanya melalui Dia orang dapat mengenal Allah, karena hanya Dia yang dapat memperkenalkan Allah (ay. 18). Menurut Bultmann:
"...exegeisthai berarti bahwa suatu kata, yang sejak lama secara teknis digunakan untuk menerangkan kehendak para ilah melalui para ahli, para imam dan peramal, kata itu pun dapat digunakan oleh Allah yang hendak menyatakan kehendak-Nya.Itu juga adalah ciri khas terakhir dari pada Dia yang mewahyukan diri, bahwa ia ‘telah membawa pesan dari Allah', dan dengan demikian penulis Injil menunjukkan, bahwa Dialah yang mewahyukan diri melalui firman-Nya. Dengan demikian pula diperlihatkan kesatuan dari pada Dia yang telah menjadi daging dengan Dia yang ada sebelum ada segala  zaman (Praexistent), yang sebagai ‘Firman yang pada mulanya ada bersama Allah' (Bultmann 1962:56:57)".
            Pada satu pihak Yesus Kristus adalah ‘Dia yang mewahyukan', yang memperkenalkan rahasia Allah, dan pihak lain, kedatangan-Nya ke dalam dunia, kosmos, merupakan wahyu, manifestasi Allah kepada manusia. Kedatangan-Nya itu disertai dengan kewibawaan, karena barang siapa percaya kepada-Nya dan percaya pada nama-Nya (NEB: those who have yielded him their allegiace) akan diberi exousia (BEB right; NAB: empowered) menjadi: tekna theou,yakni ‘anak-anak Allah' (ay. 12). Mengenai Firman sebagai tindakan Allah dalam lingkup kosmos dan waktu, orang hanya dapat bersaksi, marturein, sebagai terang yang hakiki untuk hidup (ay. 6-9).


Interpretasi Teologi tentang Wahyu

            Menurut Schleiermacher kenyataan Allah telah dikenal dalam ‘emosi' manusia, atau dalam apa yang dikenal dengan ‘intuisi emosional'. Bukan saja melalui firman, tetapi khususnya pula melalui introspeksi orang sampai pada pengenalan tentng Allah (Mackintosh 1956:95). Keadaan ‘kesadaran tentang Allah dalam manusia' adalah unsur menonjol dalam semua agama, khususnya dalam agama Kristen. Yesus sendiri memiliki kesadaran penuh itu (Mackintosh 1956:57). Menurut dia, iman tidak lain adalah pengalaman pertama ketika kebutuhan-kebutuhan spiritual dipenuhi oleh Kristus (Mackintosh 1956:98). Menurut kesimpulan Mackintosh "... secara kasarnya dapat dikatakan bahwa Dia menempatkan penemuan ganti wahyu, kesadaran agamawi ganti firman Allah, dan keadaan ‘belum' sempurna, ganti ‘dosa'." Dengan demikian, ‘wibawa' di sini adalah emosi manusia atau pengalaman, dan bukan wahyu itu sendiri.
            Barth berpendapat bahwa wahyu adalah suatu peristiwa yang terjadi dengan Yesus Kristus sekali untuk selama-lamanya. Wahyu adalah inkarnasi atau ‘menjadi manusia'. Yesus Kristus adalah wahyu Allah, karena di dalam Dia rekonsiliasi atau pengampunan diberitakan. Wahyu berarti kemurahan Allah untuk orang berdosa. Barth menolak bentuk-bentuk lain wahyu, baik langsung tanpa perantara atau secara tidak langsung. Pengenalan kemurahan Allah itu pada dasarnya menghapus pemikiran tentang wahyu yang tidak langsung melalui alam semesta (natural revelation), melalui sejarah atau melalui kesadaran manusia  (Mackintosh 1956:276-9). Pada pihak lain, wahyu adalah suatu peristiwa yang kita terima dan pula alami (‘suatu peristiwa terhadap kita dan dalam kita'). Dengan kata lain, wahyu yang disampaikan kepada kita yang kita sambut dan terima, peristiwa penyambutan itu saja adalah wahyu, karena pada saat itu kita menreima Roh Allah. Wahyu selalu terjadi dalam dua cara: (1) peristiwa satu-satunya dalam inkarnasi, sekali untuk selama-lamanya; (2) akta penerimaan pada pihak manusia kapan saja. Allah tidak pernah memberikan wahyu seperti itu kepada Gereja atau kepada para pejabat Gereja untuk menjangkau orang-orang percaya, seakan-akan wahyu itu disampaikan melalui instansi yang diberi wewenang (delegated authority).
            Alkitab adalah Firman Allah bilamana Allah berbicara melalui Alkitab. Alkitab memberi kesaksian yang berwibawa, atau mengandung wibawa, kalau mengacu ke sesuatu yang memiliki wibawa, yakni: wahyu Allah, Alkitab itu sendiri bukanlah wahyu ((Mackintosh 1956:289-90). Allah berbicara, deus dixit, tiu wahyu; Paulus dixit, itu kesaksian; dan keduanya, secara langsung atau tidak langsung, tidaklah sama. Tetapi Allah dapat menjadikan keduanya itu sama. Pada saat Allah menjadikannya, kita mendengarkan ‘Allah yang berbicara' melalui apa yang disampaikan Paulus kepada kita. Pada pihak lain, Barth memperingatkan kita untuk tidak terjatuh ke dalam alam ‘mekanis', di mana tidak ada penyapaan dan jawaban, tidak ada pengalaman dan pengambilan keputusan, hanya dorongan yang ‘tidak pribadi' (impresional), suatu tekanan atau dampak. Menurut dia, ada kaitan antara bentuk ‘duniawi' firman Allah dan isinya yang ‘Ilahi'. ‘Ada kalanya Allah hendak menuntun kita dari bentuk ke isi, atau dari isi kembali ke bentuk firman-Nya, dan pada kedua cara itu Ia menuntun kita ke diri-Nya (Mackintosh 1956:290-2, 294).
            Bultmann dengan tegas mengatakan bahwa iman menentukan untuk menetapkan apakah suatu peristiwa adalah wahyu atau tidak. Di luar iman wahyu tetap akan tidak tampak. Bukannya bahwa suatu diwahyukan, lalu orang percaya pada hal itu. Tetapi dalam percaya terungkap apa yang dipercayai (bultmann 1965). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa iman itu sendiri adalah wahyu. Apa yang diwahyukan? Jawabnya ialah: semua yang membuka pikiran manusia untuk mengenali dirinya sendiri dan untuk mengetahui keterbatannya[7]. Wahyu membawa hidup kepada manusia yang fana menerobosi keterbatasannya, yakni maut. Wahyu hanyalah karunia dari hidup, yang mengatasi maut...itu bukan suatu ajaran, bahwa maut itu ada (Bultmann 1965:14, 15). Wahyu bukanlah filsafat, tetapi suatu sapaan. Dan Firman Allah yang diteruskan sebagai sapaan adalah wahyu, sementara jawab atas wahyu itu adalah iman. Kriterium yang tersirat ialah bahwa sesuatu di Perjanjian Baru adalah wahyu bila itu sangkut paut dengan Kristus. Namun kriterium itu hanya efektif bila didengar dalam iman (Bultmann 1965: 31, 33, 34). Jadi, di sini ditekankan iman seseorang sebagai wibawa untuk menerima dan menilai wahyu.
            Menurut Tillich ada tiga unsur penting dalam wahyu: (1) kerahasiaan (Mysterium); (2) keajaiban (Wunder) dan (3) perasaan tertarik atau terpengaruh (Ekstase). Wahyu adalah suatu peristiwa untuk menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi (mystery) tanpa hilangnya kerahasiaannya. Secara obyektif, untuk manusia peristiwa itu adalah suatu keajaiban, dan secara subyektif, ia mengalami daya tariknya, atau ia merasakan dampaknya. Keterkaitan antara yang ajaib (Wunder) dan perasaan tertarik (Ekstase) sangat penting, karena tanpa keterkaitan itu wahyu tidak akan terjadi (Offenbarungskorrelation). Wahyu terjadi dalam kondisi yang disebut konstelasi wahyu. Keajaiban yang mula-mula bersama dengan penerimaan pertama adalah acuan yang tetap, sedang apa yang diterima secara rohani oleh angkatan-angkatan kemudian akan selalu berubah (Tillich 1945:152). Titik pusat dan norma segala wahyu adalah wahyu mengenai Kristus (legztgultige Offenbarung). Mengapa menentukan dan menjadi tolok ukur? Karena Kristus sebagai medium wahyu telah mengurbankan diri-Nya dan mengatasi kondisi-Nya yang fana (Tillich 1956:159). Tillich pula menegaskan, bahwa wahyu yang menjadi tolok ukur menjadi kriterium untuk tiap wahyu sebelumnya dan sesudahnya (Tillich 1956:163-164). Wahyu mengenai Kristus menilai semua wahyu yang lain. Dan tiap penerimaan dan pengakuan bahwa Yesus adalah sang Mesias adalah bagian integral wahyu yang adalah tolok ukur itu (bnd. Pengakuan Petrus, Mat. 16:16). Pada saat itu terwujud hubungan antara Kristus dan gereja. Wahyu yang satu-satunya itu tak dapat diterima tanpa suatu masa persiapan, suatu sejarah wahyu (Offenbarungsgeschichte), yang universal sifatnya. Ia pula yakin, bahwa kegiatan pekabaran Injil tak akan berhasil bila tak ada wahyu-wahyu yang mempersiapkannya (vorbereitende Offenbarungen). Khususnya wahyu-wahyu yang diterima para nabi adalah persiapan-persiapan ke arah wahyu yang satu-satunya itu, sementara wahyu-wahyu yang lain disebut ‘universal' itu dinilai oleh para nabi dalam proses penerimaan atau penolakan. Proses itu disebutnya dinamika sejarah pemberian wahyu (die Dynamik der Offenbarngsgeschichte, Tillich 1956:166, 169-71). Dengan pendapat itu ia menolak pemikiran tentang wahyu yang mekanisitik dan supranatural. Proses itu akan berjalan terus sampai tamatnya sejarah. Dan tiap penerimaan terhadap wahyu itu adalah pula wahyu. Sejarah mengenai wahyu (Offenbarungsgeschichte) pada hakikatnya adalah sejarah keselamatan (Erlosungsgeschichte).
            Menurut Tillich ada enam arti menyangkut Firman Allah:
  1. Asas Allah menampakkan diri-Nya atau keberadaan-Nya (des Prinzip der gottlich Selbstoffenbarung in Grunde des Seins selbst).
  2. Wahana (medium) untuk penciptaan (Medium der Schopfung, das dynamische Geistwort).
  3. Penampakkan diri Allah kepada manusia atau Firman, yang diterima oleh setiap orang yang punya hubungan dengan wahyu itu (Es ist das Wort, das von alldengan empfangen wird, die in einer Offenbarungsrelation stehen).
  4. Penampakkan diri Allah dalam Kristus yang merupakan wahyu yang menentukan (letztgultige Offenbarung).
  5. Alkitab yang merupakan dokumen mengenai wahyu yang menetukan itu dan persiapan-persiapannya ke arah itu (das Dokument der letztgultige Offenbarung und ihre Volbereitung).
  6. Pelayanan firman dan pengajaran gereja selama itu mengacu pada pesan yang obyektif, yang dikaruniakan kepada gereja dan yang harus disampaikan kepadanya (die objective Botschaft, die der Kirche gegeben ist und zu ihr gesprochen werden sollte; Tillich 1956:185-9).

Kesimpulan

            Kembali pada permasalahan tentang wahyu yang mengandung wibawa, atau hubungan antara wahyu dan wibawa, maka jawabannya ialah bahwa kedua-duanya kembali ke sumber yang satu itu yang menyebabkan peristiwa-peristiwa penting itu. Tidak ada wibawa tanpa wahyu, dan tanpa wibawa makna fungsional wahyu akan hilang bagi si penerima. Wibawa wahyu hanya dialami oleh dia yang menerima wahyu itu, atau oleh sekelompok orang yang secara langsung dijadikan sasaran wahyu itu (bnd. Musa, umat Israel). Wahyu juga merupakan penyingkapan wibawa atau pesan untuk ditaati. Pada pihak lain, wahyu itu pula adalah penyingkapan tindakan-tindakan Allah dalam sejarah untuk menyelamatkan umat manusia. Pesan tentang karya-karya keselamatan itu mengandung wibawa, Karena menegaskan bahwa Allah menerima mereka sebagai anak-anak-Nya yang menyambut wahyu itu dan Ia mengarunikan jaminan untuk hidup.
            Bahwa Allah bertindak untuk menyelamatkan, juga bila Ia menghukum, dan itu nyata khususnya dalam wahyu mengenai Kristus, dan bahw sejarah dan alam semesta (bnd. semak yang terbakar), manusia dan bahasanya digunakan oleh Allah sebagai wahana untuk mewujudnyatakan tindakan-tindakan-Nya untuk menyelamatkan itu, dengan jelas menegaskan wibawa di balik segala peristiwa. Menurut Bijlsma, wibawa sejarah dan wibawa hukum-hukum berada di bawah wibawa tindakan-tindakan Allah yang menyelamatkan itu (Bijlsma 1956:222, 433).
            Mengenai Alkitab sebagai firman Allah, unsur yang khas dan berwibawa ialah pesan yang dikandungnya, yakni perbuatan besar Allah yang terwujud dalam Yesus Kristus sebagai penampakan diri-Nya sendiri kepada dunia. Dalam kapasitas itu firman Allah menjadi ‘pedang bermata dua' (Ibr. 4:12-13) atau ‘norma' untuk menghapus kesalahan (2Tim. 3:16-17). Hanya dalam percaya Alkitab akan dialami mengemban wibawa sebagai firman Allah. Di luar percaya itu Alkitab hanya suatu dokumen, yang berharga sebagai sasaran penelitian. Alkitab tidak hanya menyajikan apa yang pernah terjadi di masa lampau, tetapi membuka juga kemungkinan bahwa wahyu itu dapat terjadi lagi pada saat Alkitab itu dibaca dan didengarkan. Di sinilah letak wibawa firman Allah. Penerimaan Firman itu sebagai berita sukacita atau berita yang menghibur, atau yang lazim dikenal sebagai ‘Kabar Baik', atau pun sebagai kompas hidup adalah bukti bahwa Firman itu berwibawa, karena penerima atau percaya itu sendiri adalah wahyu. Dalam proses interaksi antara wahyu Allah dan penerima manusia muncullah wibawa itu. Wibawa tidak terjadi karena tekanan. Selalu ada ruang untuk menerima atau menolaknya. Namun, kata akhir ada di tangan Dia yang mengadakan wahyu, yakni Allah sendiri.
            Walaupun wibawa wahyu dan wibawa Alkitab itu asing bagi manusia, namun alam perjumpaan dengan Firman yang menjadi Manusia, yakni Yesus Kristus, Allah mendatangi manusia dalam hubungan pribadi dengan pribadi untuk diterima, ditaati dan dihormati sebagai yang punya kewibawaan (bnd. pertobatan Paulus di jalan menuju Damaskus, Kis. 9). Dan Yesus berkata tentang diri-Nya: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa (baca: wibawa; TEV:all authority) di sorg dan di bumi. Karena itu pergilah, ..." (Mat. 28:18-20).

Kepustakaan
  1. Aland, K. et al., eds. The Greek New Testament. 1966. Stuttgart: Wurttemberg Bible Society for United Bible Societies.
  2. The Authority of the Word of God, 1960. National Conference of Australian Churches.
  3. Berrett, C.R. 1962. The Gospel according to St. John. London: S.P.C.K.
  4. Bijlsma, R. 1959. Schriftuurlijk Schriftgezag. Nijkerk: G.F. Callenbach N.V.
  5. Bultmann, R. 1962. Das Evanglium des Johanes, Kritisch exegetisch Kommentar Uber das N.T. Gottingen: Vandenhoeck and Ruprecht.
  6. _____________. 1985. Glauben und Verstehen. Tubingen: J.C.B. Mohr  (Paul Siebeck). Dritter Band.
  7. Calvin, J. 1938. Institutes of the Christian Religion, tr. By John Allen. London: T. Tegg and Son.
  8. Dodd, C.H. 1958. The Authority of the Bible. New York: Herper and Brothers.
  9. Driver, S.R. 1953. The Book of Exodus. Cambridge: Cambridge University Press.
  10. Gispen, W.H. 1951. Exodus. Kampen: Korte Verklring.
  11. Heinisch, P. 1934. Das Buch Exodus. Bonn: Peter Hanstein Verlagsbuchhandlung.
  12. Injil. 1964. Pertjetakan Arnoldus Ende, Flores.
  13. Kittel, R. 1937. Biblia Hebraica. Privilegierte Wurttembergische Bibelanstalt. Editio Decima Emendata Typis Editionis Septimae Expressa. Stuttgart.
  14. de Kuiper, A. 1969. Interpretasi atau Inspirasi. Djakarta: BPK.
  15. L'Ecole Biblique de Jerusalem. 1961. La Sainte Bible. Paris: Les Editions du Cerf.
  16. Mackintosh, H.R. 1956. Types of Modern Theology. London. Nesbet and co. Ltd.
  17. Nederlandsch Theologisch Tijdschrift. Juni 1968. 22e jaargang. 5e aflevering.
  18. Protestanse Verkenningen na ‘Vaticanum II. 1967. The Hague: Boekencentrum N.V.
  19. Rosin, H. 1963. Tafsiran Keluaran. Djakarta: BPK.
  20. ____________. 1956. The Lord is God. Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap.
  21. Smelick, E.L. 1965. het Evangelie naar Johannes. Nijkerk: Vitgeverij C.F. Callenbach N.V. Derde herziene druk.
  22. Tasker, R.V.G. 1960. The Gospel According to St. John. Tyndale New Testament Commentaries. London: The Tyndale Press.
  23. Tillich, P. 1956. Systematische Theologie, Band I. Stuttgart: evangelische Verlagswerk.
  24. Wright, G. Ernest. 1956. God Who Acts. London: SCM Press Ltd.

Terjemahan Alkitab dan singkatannya

  1. BNA: Bonnes Nouvelles Aujourd'hui. 1971. Les Societes Bibliques. Premiere Edition.
  2. JPS: The Torah. 1962. The Jewish Publication Societes of America. Philadelphia.
  3. NAB: The New American Bible. 1970. P.J. Kenedy & Sons. New York.
  4. NEB: The New English Bible. 1970. Oxford and Cambridge University Press.
  5. NLU: Die Bibel, Nach der deutschen Ubersetzung Martin Luthers. 1957. Wurttembergische Bibelanstalt. Stuttgart.
  6. VV: Nieuwe Vertaling. 1960. Het Nederlandsche Bijbelgenootschap. Amsterdam.
  7. TEV: Today's English Version. The New Testament. 1971. American Bible Society.
  8. TOB: Traduction oecumenique de la Bible, Le Livre de l'Exode. 1969. Les Bergers et les Mages/Les Editions du Cerf. Paris.
  9. ZB: Die Heilige Schrift. 1964. Verlag der Zwingli-Bibel. Zurich.
************

[1] NEB dan NAB menerjemahkan kata kerja itu dengan opfern; dan TOB dengan servisezdengan catatan yang menarik: ‘Di sinilah untuk pertama kali disebut tentang ibadah (service) kepada Allah, sebagai tawaran awal terhadap kejadian atau drama ‘tulah-tulah di Mesir' (kel. 7:16, dst). Dengan menyingkirkan kuk perbudakan (servitude) Firaun, bangsa Israel tidak memasuki keadaan bebas yang berciri anarki, tetapi dengan kebebasan itu mereka beribadah (service) kepada Allah yang diatur sesuai hukum perjanjian. Langkah pertama gerakan keluaran ialah setelah dilewati perbudakan untuk melayani (service) Firaun masuk ke dalam kebebasan untuk beribadah (service) kepada Allah (bnd. Mat. 6:24; Gal. 5:13; Rm. 6:13; 1Ptr. 2:16).
[2] NEB: I AM: that is who I am  (not: I will be that I will be); NAB: I am who am; TOB:JESUIS QUI JESERAI; NLU: Ich werde sein, der ich sein werde; AB: Ich bin, der ich bin; NV: ‘Ik ben, die ik ben; JPS (hanya transkripsi dari bahasa Ibrani): Ehyen-Asher ‘Ehyeh'dengan catatan kaki: artinya dalam bahasa Ibrani tidak jelas.
[3] NEB di sini menerjemahkan nama itu: JEHOVAH, Allah Leluhur mereka, Allah ... (catatan: Huruf-huruf mati YHWH, dalam bahasa Ibrani, mungkin harus diucapkan Yahweh, namun secara tradisional dibaca Jehovah). Bnd. juga Rosin (1956) mengenai masalah nama Allah.
[4] Catatan di TOB: ‘Kedudukan harun dalam hubungan dengan Musa di sini seperti kedudukan seorang nabi dalam hubungan dengan Allah'. Bnd. Yer. 1:9; 15:19; JPS menerjemahkannya dengan ‘mantra' (oracle) dengan catatan: hurufiah ‘ilah'; bnd. Kel. 7:1.
[5] Bnd. Bultmann 19962:9-14
[6] Menurut Tasker: ‘tetapi tidak ada pemisah jelas antara apa yang Allah katakan dengan apa yang Ia perbuat (1960:41).
[7] Bultmann 1965:29. Dalam hal ini Bultmann mengutip Barth: Die christliche Dogmatik I, hlm. 398.



No comments:

Post a Comment