Pages

Saturday, May 11, 2013

Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Lutheran


Oleh: Anwar [Tjen], S.Th.
Pengantar
            Mengawali pembahasan ini, ada baiknya kita memberi beberapa catatan awal. Pertama-tama, istilah "Lutheran" bukanlah istilah yang disenangi oleh Luther karena bagi Luther gereja hanyalah milik Kristus sendiri. Ia sendiri tidak pernah bercita-cita mendirikan gereja baru, melainkan hanya membarui praktek-praktek dan ajaran-ajaran gereja pada zamannya yang telah menyimpang dari ajaran Alkitab. Kedua istilah "Lutheran" kemudian mengacu pada orang-orang dan gereja-gereja dalam spectrum yang sangat luas dengan keanekaragaman yang besar dalam sudut pandangan dan tafsiran terhadap ajaran-ajaran Luther. Ada yang mempertahankan "bentuk" ajaran Luther seortodoks" mungkin dan bahkan cenderung meng"kultus"kan Luther secara eksklusif. Ada pula yang dalam interaksi dengan situasi historisnya, khususnya dengan memperhatikan perkembangan diskusi ekumenis, hanya memelihara "semangat" ajaran Luther dan menyerap unsur-unsur dari dokumen-dokumen konfesional Lutheran dalam merumuskan konfesi dan pokok-pokok ajarannya. Ketiga, gereja-gereja di Indonesia tidak ada yang murni Lutheran. Gereja-gereja yang disebut Lutheran itu1)  umumnya lahir dari usaha pekabaran Injil oleh lembaga-lembaga zending yang dilatarbelakangai oleh gerakan Petisme dan yang justru tidak mengikat diri secara ketat dengan salah satu "blok" konfesional.2)

1) Antara lain, HKBP dan gereja-gereja yang dimandirikan ataupun berpisah dari HKBP, HKI, GKPS, GKPI, GKPA, dll.
2) Lih. Th. Van den End, Ragi Carita 2, Jakarta (BPK-Gunung Mulia, 1989), hlm. 35 br. 
            Memperhatikan catatan-catatan tersebut, dalam tulisan ini kita akan menyimak pendirian Luther tentang otoritas Alkitab sebagaimana nyata dalam perjuangan dan Tulisan-tulisannya. Namun kita juga akan menelusuri pokok ini dalam sorotan dokumen-dokumen konfensional yang didasarkan pada ajaran Luther, antara lain Konfesi Augsburg (1530) pada masa reformasi, Konfesi Huria Kristen Batak Protestan (1951) dan Pokok-pokok Pemahaman Iman Gereja Kristen Protestan Indonesia (1993) pada masa kini.3)
1. Sola Scriptura: Alkitab sebagai otoritas tertinggi
            Dalam sebuah interogasi dengan Kardina Cajetanus di Augsburg (1518), ketika didesak untuk mengaku salah dan menerima dekrit Paus, Luther dengan tegas menjawab, "Saya tidak akan muncul dari begitu banyak kesaksian Kitab Suci yang jelas, hanya karena sebuah dekrit Paus yang bermakna ganda." Lalu pada waktu Cajetanus mengingatkan otoritas Paus terhadap Alkitab, konsili dan gereja, Luther menyatakan pendiriannya dengan terus terang, "Dia [Paus] menyelewengkan Kitab Suci. Saya menyangkal bahwa ia mengatasi Kitab Suci."4) Jawaban ini mencerminkan pergumulan reformasi dalam rangka otoritas Alkitab, sebagaimana dirumuskan kemudian sebagai salah satu prinsip reformasi: Sola Scriptura. Berhubungan dengan prinsip ini, timbul pertanyaan: Apakah memang Luther sama sekali menolak otoritas gereja atas dasar Alkitab sebagai satu-satunya otoritas bagi umat percaya? Dari sejarah gereja, kita ketahui bahwa sikap Luther sendiri sebenarnya cenderung konservatif. Sejauh mungkin ia berusaha mempertahankan apa saja yang masih berlaku benar sesuai dengan ajaran Alkitab.
            Dalam arti ini sikap Luther tidak dapat dikatakan "revolusioner". Baru kemudian karena konfrontasi tidak dapat dihindari lagi, Luther mengambil pendirian yang cukup revolusioner dengan menolak otoritas Paus sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan Alkitab.5) Dalam perdebatannya dengan Johann Eck di Leipzig (1519), misalnya, ia menegaskan bahwa Alkitab saja yang perlu diikuti: "Bukan kuasa Roma atau Inkuisisi yang berhak menetapkan pokok-pokok yang baru tentang iman. Tak ada orang Kristen yang dapat dipaksa di luar Kitab Suci, oleh hokum ilahi kita dilarang untuk percaya akan apa saja yang tidak ditetapkan oleh Kitab Suci atau wahyu yang jelas."6)
            Pendirian yang sama juga terlihat dalam tulisannya "Pembuangan Babil Gereja" (1520) yang menyerang ketujuh sakramen Gereja Katolik sebagaimana ditetapkan dalam Konsili Firenze (1438-1445). Dalam tulisan tersebut Luther menegaskan, "Hal-hal yang disampaikan oleh Allah kepada kita dalam Kitab Suci harus dibedakan dengan tajam dari hal-hal yang diciptakan oleh manusia dalam Gereja, betapa pun sucinya atau betapa pun tingginya pengetahuan yang mendasarinya."7) Berdasarkan prinsp ini Luther kemudian mengurangi jumlah sakramen yang diselenggarakan dalam gereja, dari tujuh menjadi dua sakramen, yakni: baptisan dan perjamuan kudus.
            Sejalan dengan itu, sering pula dipertanyakan bagaimana pendirian Luther terhadap ajaran Bapa-bapa Gereja. Patut dicatat bahwa Luther menghormati ajaran Bapa-bapa Gereja namun sama seperti sikapnya terhadap semua otoritas, Luther menempatkan otoritas mereka di bawah otoritas Alkitab.8) Sejauh tulisan mereka menolong umat percaya untuk menghampiri Alkitab, Luther secara positif menerima ajaran mereka. Hal ini dikemukakannya, antara lain, dalam tulisannya "Seruan kepada pemimpn-pemimpin Jerman" (1520): "Tulisan-tulisan dari semua bapa suci hendaknya dibaca hanya untuk sementara waktu agar melalui tulisan-tulisan itu kita dapat dibimbing kepada Kitab Suci. Namun ternyata, kita membacanya dan larut di dalamnya tanpa pernah dating kepada Kitab Suci. Kita seperti orang yang mempelajari rambu-rambu dan tidak pernah menempuh jalan itu sendiri. Bapa-bapa yang terkasih itu, melalui tulisan-tulisan mereka, ingin menuntun kita kepada Kitab Suci.9)
            Akan tetapi, Luther menetapkan suatu tolok ukur terhadap ajaran-ajaran Bapa-bapa Gereja, yakni kesetiaan kepada firman Allah. Ia menegaskan "Saya tidak akan memperhatikan Gereja atau Bapa-bapa Gereja atau rasul-rasul, kecuali mereka menyampaikan dan mengajarkan Firman Allah yang murni."10) Menurut Luther ajaran Bapa-bapa Gereja dapat diterima hanya "apabila mereka mengutip nats-nats yang jelas dan menerangkan [nats] Kitab Suci dengan [nats]  Kitab Suci yang lebih jelas."11) Prinsip ini sekaligus juga merupakan prinsip Luther dalam menafsirkan Alkitab, yakni bahwa Alkitab menafsirkan dirinya sendiri (Scriptura scripture interpres) dan Alkitab saja sudah cukup tanpa petunjuk otoritatif lainnya. Itulah sebabnya dalam suatu diskusi tentang ucapan Augustinus mengenai gereja ("Aku tidak akan percaya pada Injil jika aku tidak percaya pada Gereja"), Luther dapat mengatakan, "Bahkan seandainya Augustinus menggunakan kata-kata ini, siapa yang memberinya otoritas sehingga kita harus percaya kepada yang dikatakannya? Apa nats Kitab Suci yang dikutipnya untuk membuktikan pernyataan ini? Bagaimana kalau ia salah dalam hal ini, seperti yang sering dilakukannya dan juga semua Bapa gereja?"12)
            Jika gereja dan Bapa-bapa Gereja pun tunduk kepada otoritas Alkitab, bagaimana halnya dengan konsili-konsili ekumenis dan pengakuan-pengakuan iman purba yang dihasilkan konsili-konsili tersebut. Pendirian Luther dalam hal ini pada dasarnya sama saja. Ia menerima otoritas pengakuan-pengakuan iman purba, bukan karena konsili-konsili telah menetapkannya, melainkan karena isinya dirumuskan sesuai dengan ajaran Alkitab.13) Menurut Luther otoritas konsili-konsili ekumenis itu pada dasarnya terbatas pada peneguhan pokok-pokok iman purba. Ia mengakui bahwa Roh Kudus hadir dalam konsili-konsili tersebut, tetapi tetap saja konsili-konsili ini tidak berkuasa merumuskan pokok-pokok iman yang baru. Sebagai argumennya ia menyatakan, "Konsili rasuli di Yerusalem pun (Kis. 15) tidak menetapkan cara iman yang baru, melainkan hanya meneguhkan kesimpulan Petrus, yakni bahwa para nenek moyang mereka telah percaya akan pokok iman ini. Manusia diselamatkan tanpa hukum Taurat, hanya melalui anugerah Kristus14)
            Berkaitan dengan keputusan yang dihasilkan oleh konsili-konsili gereja, Luther mempunyai pendirian kritis bahwa konsili-konsili pun terkadang mengambil keputusan yang sama sekali salah. Misalnya, konsil Constranz (1414-1418) yang menjatuhkan hukuman mati atas Johannes Hus dengan membakarnya hidup-hidup. Padahal menurut Luther, Hus benar dalam pandangannya yang mengutamakan otoritas Alkitab di atas hukum-hukum Paus.15) Oleh sebab itu dalam pebelaannya di hadapan kaisar dan raja-raja pada 18 April 1521 di Worms, Luther dengangegas mengatakan, "...sebab saya tidak percaya kepada Paus atau kepada konsili-konsili saja, karena sudahlah jelas sekali bahwa mereka sesat berkali-kali dan seringkali bertentangan dengan dirinya sendiri. Suara hati saya sudah terikat oleh perkataan Kitab Suci dan saya tertangkap dalam Firman Allah yang menarik kembali, saya tidak dapat dan saya tidak mau sama sekali. Semoga Allah menolong saya. Amin!"16)
            Dengan demikian jelaslah bahwa walaupun ajaran Alkitab tidak melulu dipandang saling eksklusif dengan tradisi-tradisi gereja, namun bagi Luther otoritas terakhir terletak pada Alkitab sebagai firman Allah. Tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran gereja, baik yang mengikuti ajaran Bapa-bapa Gereja maupun yang merupakan keputusan konsili-konsili gereja, tidaklah berdampingan sejajar dengan Alkitab, melainkan harus senantiasa diperhadapkan dengan Alkitab dan tunduk kepada otoritas Alkitab.
2. Otoritas Alkitab: hakikat dan fungsi Alkitab
            Pemahaman Luther tentang otoritas Alkitab sebenarnya tidaklah baru. Seperti dipaparkan di atas, yang sering dianggap "revolusioner" dalam pandangannya tentang Alkitab ialah konfrontasinya mengenai otoritas Alkitab dalam praktek dan ajaran gereja. Itu berarti kontribusi Luther terutama terletak pada pendiriannya tentang hakikat dan fungsi Alkitab bagi umat percaya. Dalam hal ini patut dicatat bahwa pada satu sisi Luther berhutang pada kerangka pemikiran Neoplatonis-Augustinian yang menganggap Alkitab harus diterima dengan iman. Jadi Luther sebenarnya tidak merumuskan pandangan yang baru, melainkan hanya kembali kepada keyakinan gereja purba bahwa Alkitab merupakan firman Allah yang membimbing orang dalam keselamatan dan kehidupan iman. Pada sisi lain, pandangan Luther tentang dasar yang memberi sifat otoritatif bagi Alkitab juga tidak berbeda dengan ajaran gereja purba maupun gereja abad pertengahan, yakni: Alkitab diilhami oleh Roh Allah dengan demikian merupakan firman Allah yang bersifat otoritatif bagi umat percaya.17)
            Sama seperti tradisi gereja purba, Luther melihat bahwa pada hakikatnya Alkitab berisi dan berpusat pada Kristus sendiri (prinsip kristosentris).18) Berkali-kali Luther menegaskan tentang prinsip ini, misalnya dengan mengatakan, "Keluarkanlah Kristus dari Kitab Suci, lalu apa lagi yang masih tinggal?"19) "Aku tidak melihat apa pun dalam Kitab Suci selain Kristus yang disalibkan."20) Hakikat kristosentris ini sekaligus memberi dimensi soteriologis dalam pandangannya tentang otoritas Alkitab.21) Sejalan dengan itu, dalam "Pengantar kepada Perjanjian Baru" Luther menuliskan, Maka Injil tidak lain dari pada pemberitaan tentang Kristus, Anak Allah dan Anak Daud, Allah sejati dan manusia sejati, yang oleh kematian dan kebangkitan-Nya telah mengatasi semua dosa manusia dan maut serta neraka, bagi kita yang percaya kepada Dia."22)
            Mengikuti tradisi gereja purba yang menganggap Allah menjadi manusia untuk menyesuaikan diri dengan cara-cara berkomunikasi manusia, Luther melihat otoritas Alkitab dalam kerangka Allah yang merendahkan diri dakam Kristus sebagai manusia (pendekatan inkarnasional). Ia mengambil analogi antara Alkitab sebagai frman Allah dalam bentuk tertulis dan Kristus sebaga firman Allah yang menjadi manusia. "Kitab Suci adalah Firman Allah, tertulis dan dengan demikian dapat dikatakan "di-huruf-kan", sama seperti Kristus adalah Firman Allah yang kekal menjelma dalam rupa manusia. Dan sama seperti Kristus di dunia, sebagaimana Ia dilihat dan diperlakukan, demikian juga halnya dengan Firman Allah yang tertulis."23) Bagi Luther Alkitab tertulis pada kertas dengan tinta cetak mengandung tabiat ilahi dan manusiawi sekaligus, seperti halnya kuasa dan keilahian Allah berdiam pada Kristus yang berinkarnasi. Karena itu bila hendak mengerti penyataan Alkitabiah sepenuhnya, Luhter mengatakan, kita "perlu memandang Kitab Suci dari segi tabiat ilahi-manusiawi Kristus."24)
            Sesuai dengan sifat ganda dari Alkitab ini, Luther tidak menyamakan Alkitab begitu saja dengan firman Allah. Tetapi ia melihat Allah berfirman melalui Alkitab dan firman Allah tidak terlepas daripadanya. Di sinilah terletak dialektika pemahaman Luther tentang Alkitab dan firman Allah. Di satu sisi, ia dapat mengatakan, "Di mana akan kita temukan firman Allah, kecuali dalam Kitab Suci?"25) "Ketika engkau membaca kata-kata Kitab Suci, engkau harus menyadarinya bahwa Allah sedang berkata-kata di dalamnya."26) Di sisi yang lain, bagi Luther firman Allah bukanlah Alkitab sebagai buku tertulis, karena "Injil sesungguhnya bukan apa yang terkandung dalam buku-buku dan terdapat dalam huruf-huruf, melainkan justru dalam pemberitaan lisan perkataan hidup, suatu suara yang menggema ke seluruh dunia dan diberitakan secara terbuka."27) Bagaimana Alkitab "didengar" sebagai firman yang menyelamatkan umat percaya tergantung pada perkerjaan Roh Kudus yang menyebabkan kita menaruh kepercayaan kita dalam Firman Allah.
            Senada dengan itu, Luther melihat peranan Roh Kudus yang memampukan para pembaca Alkitab menarik perbedaan antara "roh" dan "huruf". Dalam kuliah-kuliah awalnya mengenai Kitab Mazmur ia dengan jelas membedakan kedua unsur ini: "Tak seorang pun mengerti ketentuan-ketentuan [Allah] ini kecuali pengertian ini diberikan kepadanya dari atas. ... Karena itu kesalahan yang paling menyedihkan ialah apabila orang menganggap dirinya menafsirkan Kitab Suci dan hukum Allah dengan berpegang padanya melalui pengertian dan penelitiannya sendiri."28) Kata-kata dari Alkitab tidak dengan sendirinya dapat dipahami secara batiniah, karena apa yang diucapkan bocaliter perlu dimengerti vitaliter dalam hati dan nurani. Pembedaan ini menggemakan juga prinsip penafsiran Luther yang membedakan antara hukum dan Injil. Menurut Luther Roh itu tersembunyi di dalam huruf karena huruf itu sendiri memberitakan hanya hukum atau murka Allah, sedangkan Roh membawa firman anugerah atau Injil.29)
            Sesuai dengan pendekatan inkarnasional terhadap Alkitab, maka Luther tidak mengabaikan sisi manusiawi dari Alkitab. Pada satu pihak Luther dapat mengatakan bahwa setiap iota dari Alkitab adalah suci, sementara pada pihak lain ia justru tidak begitu peduli dengan kesalahan-kesalahan kecil yang terdapat dalam Alkitab, misalnya kekeliruan dalam mengutip nats-nats Perjanjian Lama oleh Perjanjian Baru.30) Bagi Luther sama seperti Kristus dalam inkarnasi tidak lepas dari sifat-sifat manusia, demikian juga Alkitab sebagai medium firman Allah tidak bebas dari keterbatasan-keterbatasan manusiawi. Itulah sebabnya dalam terjemahannya Luther dapat melawan godaan untuk menyelaraskan kutipan-kutipan dari kitab-kitab para nabi di dalam Perjanjian Baru dengan teks dari Perjanjian Lama.31)
            Prinsip yang sama juga diberlakukannya untuk konteks yang lebih besar. Menyangkut kanon Alkitab, misalnya, walaupun Luther tidak menolak begitu saja kitab-kitab Apokrifa (Deuterokanonika), namun ia membedakan otoritasnya dengan otoritas ke-39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan ke-27 kitab-kitab Perjanjian Baru. Sekalipun ia mengakui bahwa kitab-kitab Apokrifa berguna dan baik untuk dibaca, namun ia tidak menganggap kitab-kitab tersebut setara dengan Alkitab.32) Lebih jauh, Luther bahkan tidak menyamakan saja otoritas seluruh kitab-kitab dalam Alkitab. Dalam pengantarnya kepada Perjanjian Baru (1522), misalnya, ia menyebut Surat Yakobus sebagai "surat jerami" (ein recht strohen Epistel), karena surat ini justru mengutamakan perbuatan.33) Terhadap beberapa kitab dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru Luter mempunyai pendirian yang "kritis" menurut ukuran zamannya. Adakalanya ia mempertanyakan tentang penulis sesungguhnya dari Kitab Kejadian, Pengkhotbah dan Surat Yudas. Ia juga mempertanyakan kedudukan kanonis dari Kitab Ester, Surat Ibrani, Yakobus dan Kitab Wahyu. Bahkan ia terkadang mempersoalkan "kekeliruan-kekeliruan" para nabi, ketepatan Kitab Raja-raja bila diperhadapkan dengan Kitab Tawarikh, nilai cerita-cerita dalam Kitab-kitab Injil.34)
            Pembedaan otoritas ini, antara lain, juga tercermin dalam kulah-kuliah dan tulisan-tulisan Luther. Ia lebih banyak menggunakan bahan-bahan dari surat-surat Paulus, Injil Yohanes dan Surat I Petrus. Sekiranya otoritas kitab-kitab ini masih hendak dibedakan lagi tampaknya Luther akan menempatkan Injil Yohanes pada urutan pertama, lalu surat-surat Paulus dan I Petrus, kemudian ketiga Injil sinoptik.35) Ini dapat dimengerti dari sudut pandang Luther bahwa firman Allah terlihat lebih jelas, dengan demikian lebih "otoritatif", dalam beberapa bagian Alkitab daripada bagian lainnya.
            Prinsip penafsiran Luther menurut kategori "hukum dan Injil" mencerminkan pula pendiriannya tentang kedudukan otoritatif tulisan-tulisan dalam Alkitab. Sebagaimana otoritas kitab-kitab dalam Alkitab tidak dapat disamakan begitu saja, maka ia juga tidak menyamakan begitu saja otoritas Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Kendati demikian Luther melihat kesatuan di antara kedua Perjanjian itu dalam hakikat dan fungsi kedua-duanya sebagai berita keselamatan di dalam Kristus, seperti yang dituliskannya dalam "Pengantar kepada Perjanjian Lama": "... Perjanjian Lama adalah buku hukum-hukum, yang mengajarkan apa yang harus dan jangan dilakukan manusia ... Perjanjian Baru adalah buku Injil atau buku anugerah dan mengajarkan di mana orang dapat memperoleh kuasa untuk memenuhi hukum itu ... ajaran Perjanjian Baru yang pokok dan khusus adalah pemberitaan tentang anugerah dan damai di dalam Kristus, melalui pengampunan dosa; demikian pun ajaran Perjanjian Lama yang pokok dan khusus adalah pengajaran tentang hukum-hukum..."36)
            Berkenaan dengan pandangan Luther tentang otoritas Alkitab, salah satu pertanyaan yang sering diajukan ialah mengenai faham "Alkitab tidak dapat ialah". Diskusi yang panjang lebar tentang pandangan Luhter dalam hal ini tidak dapat dilakukan di sini. Namun secara singkat dapat dikatakan bahwa bagi Luther fungsi soterologis Alkitablah yang terutama menentukan soal "benar", "keliru" atau "salah". Alkitab tidak dapat salah dalam mewujudkan tujuannya memberitakan keselamatan yang dilaksanakan Allah di dalam Yesus Kristus. Bagi Luther otoritas Alkitab sebagai firman Allah tidak terletak pada "bentuk"nya yang sempurna atau ketepatan teknis, melainkan pada pokok pemberitaannya: Kristus. Karena itu Luther dapat mengatakan: "Apabila terdapat ketidaksesuaian-ketidaksesuaian dalam Kitab Suci dan kita tidak dapat menyelaraskannya, biarkan saja demikian, hal itu tidak membahayakan pokok-pokok iman Kristen."37)
            Namun demikian, dengan pendirian ini tidak berarti bahwa Luther sama sekali mengabaikan "bentuk" Alkitab. Dalam soal penafsiran Alkitab, misalnya, Luther sangat serius dengan ketepatan teks Alkitab. Oleh sebab itu ia sangat memperhatikan pentingnya bahasa Ibrani dan Yunani yang dipergunakan para penulis Alkitab untuk mengungkapkan firman Allah. Ditinjau dari satu segi bahkan cenderung agak naïf dengan menganggap bahasa-bahasa itu sebagai "bahasa suci".38) Tetapi, dari segi lain justru penafsiran Luther terhadap Alkitab menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena ia mengutamakan makna gramatikal dan literal, kecuali jika konteksnya menghendaki tafsiran yang lain.39)
            Dari uraian di atas, kita melihat bahwa pandangan Luther tentang otoritas Alkitab pada dasarnya bertumpu pada hakikat dan fungsinya sebagai firman Allah yang memberitakan keselamatan di dalam Kristus. Alkitab dengan Kirstus sebagai pusatnya sudah cukup menjalankan fungsi soteriologisnya. Itu berarti bahwa sama seperti tradisi-tradisi gereja sebelumnya, Luther mengembangkan suatu "kanon di dalam kanon". Otoritas Alkitab secara keseluruhan maupun menurut bagian-bagiannya ditentukan oleh norma-norma yang bersifat kristosentris, seperti kata Luther: soweit sie Christum treiben.40)
           
3. Otoritas Alkitab menurut Konfesi Augsburg, Konfesi HKBP dan Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI

            Sebagai pengakuan iman yang dirumuskan oleh sejumlah pengikut Luther semasa ia masih hidup, Konfesi Augsburg memperlihatkan garis-garis besar ajaran Luther sebagaimana diteruskan dan disesuaikan dengan kondisi historisnya. Konfesi ini disampaikan di Augsburg kepada Kaisar Karel V pada tanggal 25 Juni 1530 dalam rangka memenuhi permintaan kaisar untuk mengusahakan suatu kesatuan di antara golongan-golongan  yang bertikai dengan gereja Roma. Perumusnya adalah Philip Melanchton, salah seorang teolog Lutheran yang pertama, sedangkan Luther hanya bertindak sebagai penasihat yang diminta petunjuknya melalui surat-menyurat. Pembacaan yang kritis terhadap konfesi ini menunjukkan bahwa isi konfesi ini memang merupakan suatu pendekatan yang agak kompromistis dari pihak Lutheran terhadap praktek dan ajaran gereja Roma pada waktu itu. Sekalipun tetap mempertahankan inti ajaran Luther, khususnya menyangkut kontraversi dengan gereja Roma, namun dalam beberapa hal perumus konfesi ini sengaja mengabaikan pokok-pokok yang paling kontroversial. Praktek penjualan surat penghapusan siksa, misalnya, yang ditentang keras oleh Luther sama sekali tidak disinggung dalam konfesi ini.41)
            Dalam kaitan dengan otoritas Alkitab pendirian Lutheran tentang kedudukan Alkitab sebagai otoritas tertinggi di atas Paus dan gereja juga tidak diungkapkan secara spesifik. Namun secara implisit Alkitab dijadikan norma tertinggi dalam menilai dan menyikapi pokok-pokok yang dipersoalkan. Ekspresi yang lebih eksplisit baru diberikan, misalnya, pada akhir bagian "Pasal-pasal tentang Iman dan Ajaran", tetapi tetap dalam bentuk yang diwarnai keinginan untuk berdamai: "Kira-kira demikianlah rangkuman ajaran-ajaran yang diberitakan dan diajarkan dalam gereja-gereja kami ........ Oleh karena ajaran ini jelas didasarkan pada Kitab Suci dan tidak bertentangan atau berlawanan dengan ajaran gereja Kristen yang am, atau bahkan dengan Gereja Roma (sepanjang ajarannya tercermin dalam tulisan-tulisan Bapa Gereja), kami berpendapat bahwa para penentang kami tidak dapat berselisih dengan kami dalam pasal-pasal yang dikemukakan di atas."42) Dalam bagian kesimpulan, hal yang serupa dikemukakan kembali dengan menambahkan unsur pertanggungjawaban berdasarkan Alkitab: "Jika ada yang menganggap pernyataan itu masih kurang dalam beberapa hal kami bersedia memberi keterangan lebih lanjut berdasarkan Kitab Suci."43)
            Bila kita menyimak dengan saksama argumen-argumen yang diberikan mengenai soal-soal yang diperdebatkan, tercermin di dalamnya suatu "hierarti" otoritas yang dianut para perumus konfesi ini. Sebagai contoh, dalam argumentasi mengenai "Perkawinan Para Imam", setelah menyebutkan hal-hal yang menjadi pertimbangan dan alasan mengapa perkawinan para imam dianjurkan, lalu dikemukakan alasan utamanya, yaitu "terutama karena Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa kehidupan perkawinan ditetapkan oleh Allah untuk menghindarkan percabulan."44) Argumen-argumen selanjutnya untuk mendukung alasan ini diambil dari Rasul Paulus (1Kor. 7:2, 9), Kristus (Yoh. 8:44) dan Kitab Kejadian (1:27). Lalu diteruskan dengan argumen-argumen dari para Bapa Gereja serta hukum-hukum gerejawi yang tua yang mendukung kebiasaan bagi para pelayan gereja untuk menikah.45) Untuk "mengunci" argumentasi yang dikemukakan, maka diberikan nats-nats Alkitab yang relevan, misalnya "Dalam 1Tim. 4:1, 3 Rasul Paulus menyebut ajaran yang melarang perkawinan sebagai ajaran Iblis."46)
            Dari contoh di atas, kita melihat bahwa sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, otoritas Alkitab sebagai firman Allah tetap merupakan Norma asasi dalam konfesi ini. Konfesi Augsburg pada dasarnya mengikuti pendirian Luther tentang otoritas Alkitab, namun merumuskannya kembali sesuai dengan tantang jawab yang dihadapi dalam konteks historisnya. Sama seperti Luther, para pengikutnya menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi bagi umat percaya. Otoritas para Bapa Gereja, tradisi-tradisi dan hukum-hukum gerejawi dihargai dan diberi tempat yang sesuai di bawah otoritas Alkitab.
            Berbeda dengan konfesi Augsburg, situasi histories yang melatarbelakangi perumusan Konfesi HKBP ialah keinginan HKBP untuk bergabung dengan LWF (Lutheran World Federation). Pada waktu itu hubungan RMG (Rheinische Mission Gesellschaft) dengan HKBP sempat terputus akibat Perang Dunia II. Mengantisipasi kemungkinan kembalinya para zendieling RMG untuk "menguasai" kembali HKBP, maka bertentangan dengan kebijaksanaan RMG yang "Uniert" dan tidak mau bergabung dengan salah satu "blok" konfesional, HKBP berusaha menggabungkan diri dengan "blok" Lutheran. Karena tidak bersedia menerima begitu saja Konfesi Augsburg, lalu HKBP menyusun konfesinya sendiri (Panindangion Haporseaon ni Huria Kristen Batak Protestan, 1951) yang merupakan konfesi pertama yang dirumuskan oleh salah satu gereja di Indonesia.47) Namun kontinuitas konfesi ini dengan konfesi-konfesi gereja purba jelas terlihat pada bagian permulaan: "Pengakuan Percaya dari Huria Kristen Batak Protestan ini ialah lanjutan dari Pengakuan-pengakuan Percaya (Konfessi) yang telah ada... a. Pengakuan Iman Apostolikum, b. Pengakuan Iman Nicenum, c. Pengakuan Iman Anathanasianum."48)
            Senada dengan Konfesi Augsburg dalam menghadapi praktek-praktek dan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Alkitab, maka Konfesi HKBP dinyatakan sebagai "dasar bagi HKBP untuk menolak dan melawan ajaran yang sesat dan keliru, yaitu yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan."49) Namun, berbeda dengan Konfesi Augsburg, dalam Konfesi HKBP kedudukan Alkitab sebagai firman Allah mendapat ekspresi yang eksplisit: "Kita percaya dan menyaksikan: Firman tertulis di dalam Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah yang sesungguhnya."50) Dasar untuk pengakuan tentang Alkitab ini ditemukan pada pengilhaman Alkitab oleh Roh Allah (1Ptr. 1:21; 2Tim. 3:16-17). Berhubungan dengan fungsi soteriologis Alkitab bagi umat percaya konfesi ini merumuskan: "Dengan ajaran ini ditekankan: Alkitab telah menyatakan diri Allah dan kemauannya dengan sempurna dan pula telah mengajarkan dengan sempurna apa yang harus dipercayai manusia supaya memperoleh hidup kekal. Wahyu 22:18-19."51) Kedudukan Alkitab sebagai otoritas tertinggi (yang dirumuskan sebagai "awal" dan "akhir") dinyatakan sebagai berikut: "Hanya Alkitablah awal dan akhir semua pemikiran, pengetahuan dan usaha di dalam Gereja dan bagi setiap orang percaya. Dengan ajaran ini kita tolak semua kepandaian dan kebijaksanaan manusia yang bertentangan dengan Firman Allah. Amsal 3:5; Mzm. 111:10."52) Sebagaimana terlihat dari isi Konfesi HKBP tentang "Firman Allah", rumusannya tentang Alkitab sebagai firman Allah tidak dapat dikatakan "khas" Lutheran. Namun, rumusan tersebut sejajar dengan pendirian Luther dan para reformator lainnya tentang otoritas Alkitab.
            Berbeda dengan kedua konfesi yang disebut di atas, Pokok-pokok Pemahaman Iman Gereja Kristen Protestan Indonesia (PPI-GKPI) - sebuah gereja yang terbentuk akibat skisma yang terjadi di tubuh HKBP pada tahun 1964 - justru dirumuskan karena "sampai usia 20 tahun belum jelas terumus apa dan mana yang dimaksud dengan Konfesi GKPI."53) Akan tetapi, diterangkan juga bahwa "Konfessi GKPI pada dasarnya sudah ada, yaitu seperti termaktub dalam Tata Gereja GKPI Pasal II ayat 1 ....... ‘Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) mengaku Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat Gereja, sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pengakuan ini menggerakkan dan menerangi seluruh gerak-hidup Warga Jemaat di GKPI."54) Seperti Konfesi HKBP, PPI-GKPI mengacu pada dokumen-dokumen konfesional gereja purba seperti Pengakuan Iman Rasuli, Nicea-Konstantinopel, Athanasianum, sedangkan unsur-unsur Lutheran di dalamnya mengacu pada Katekismus Martin Luther dan Konfesi Augsburg. Namun unsur-unsur yang lebih universal dan ekumenis mendapat perhatian pula, yakni "pokok-pokok ajaran bapa-bapa gereja yang diakui sebagai bersifat ekumenis dan reformatories" dan dalam konteks Indonesia "Pemahaman Iman Bersama Iman Kristen (PBIK)", salah satu dari Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yang dirumuskan bersama dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).55)
            Pada bagian "Pendahuluan" PPI-GKPI ini otoritas Alkitab segera mendapat tekanan yang khusus: "Gereja di segala abad dan tempat menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan... Terhadap semua ini gereja harus memberi jawab; jawaban itu harus bersumber dari dan didasarkan pada Firman Tuhan di dalam Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran dan norma yang benar."56) "Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ini bersumber dan berdasar pada Alkitab. Karena itu dimaksudkan sebagai pengganti ataupun tandingan Alkitab."57) Bagian pertama langsung dimulai dengan pemahaman tentang hakikat "Alkitab": "Alkitab yang terdiri dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah sungguh-sungguh Firman Allah. Di dalam Alkitab tertuang seluruh kesaksian mengenai Allah yang menyatakan diri... Kesaksian itu berpusat dalam Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia (Yoh. 1:14)".58) Dengan demikian prinsip kristosentris dan pendekatan inkarnasional mengawali dan mendasari isi dokumen ini tentang Alkitab.
Otoritas Alkitab dan pengilhaman oleh Roh Allah yang memberi sifat otoritatif kepada Alkitab sebagai firman Allah, dalam dokumen konfesional ini dirumuskan secara spesifik: "Sebagai Firman Allah, Alkitab mempunyai kewibawaan tertinggi serta menjadi sumber dan norma bagi pemberitaan Firman Tuhan maupun bagi ajaran Gereja dan bagi perlaku orang beirman sebagaimana dikatakan Pualus ...... (2Tim. 3:16)."59) Lebih lanjut dikatakan, "Oleh karena itu GKPI mempercayai, mengakui dan mengajarkan setiap warga jemaat bahwa Alkitab adalah satu-satunya tolok ukur dalam kehidupan sehari-hari orang percaya, yang dipahami dan diberlakukan di bawah bimbingan Roh Kudus..."60) Dalam rangka pengilhaman Alkitab oleh Roh Allah, disadari juga keterbatasan Alkitab yang bersifat manusiawi, namun otoritasnya tetap ditegaskan: "Kesaksian itu telah menggunakan bentuk-bentuk serta unsur-unsur kemanusiaan dan kebudayaan pada lingkup sejarah tertentu, sehingga menampakkan adanya keterbatasan-keterbatasan tertentu. Namun demikian, kebenaran kesaksian Alkitab itu melampaui batas-batas ruang dan waktu."61)
            Prinsip penafsiran Lutheran yang membedakan Alkitab menurut kategori "hukum dan Injil" tampak jelas dalam butir berikutnya: "Alkitab menyaksikan bahwa Tuhan Allah memberikan Taurat kepada manusia ....... Yang mengajarkan apa yang benar dan berkenan kepada Allah, serta yang menghakimi dan mengutuk apa yang salah dan bertentangan dengan kehendak Allah."62) Sejalan dengan itu ditegaskan pula bahwa "Keagungan Alkitab terletak pada pemberitaannya mengenai Injil tentang kasih karunia Tuhan Allah kepada manusia di dalam Yesus Kristus yang telah menebus dosa manusia (2Kor. 5:21) dan memikul kutuk Taurat di kayu salib, agar manusia diselamatkan untuk selama-lamanya..."63) Dengan pembedaan ini, maka dokumen konfesional ini mencerminkan pendirian Lutheran tentang fungsi soteriologis Alkitab.
            Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dokumen PPI-GKPI ini, khususnya dalam ajaran tentang Alkitab, lebih bersifat "khas" Lutheran, baik dalam pemahamannya tentang hakikat Alkitab sebagai firman Allah yang berpusat pada Kristus yang berinkarnasi, maupun dalam pemahamannya tentang fungsi soteriologis Alkitab menurut kategori "hukum dan Injil". Sama seperti dokumen-dokumen konfesional Lutheran lainnya, PPI-GKPI menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang melandasi pemberitaan, ajaran maupun segala gerak hidup gereja.

Pengantar 
            Dari uraian di atas, kita memperhatikan bahwa dalam tradisi Lutheran otoritas Alkitab sebagai firman Allah benar-benar bersifat sentral. Otoritas tersebut terutama dilihat dalam pemusatan pemberitaan Alkitab pada Kristus dan dalam fungsi Alkitab yang menjadi pedoman umat percaya tentang keselamatan di dalam Kristus. Sejalan dengan itu, kita melihat bahwa pada dasarnya pandangan Lutheran tentang otoritas Alkitab kontinu dengan pengakuan gereja di segala abad. Tidak dapat disangkal bahwa Luther mempunyai kontribusi yang khas dalam rangka otoritas Alkitab atas kehidupan umat percaya, namun pendiriannya sendiri tidak sama sekali lepas dari garis pemahaman gereja dan para pendahulunya. Hal ini perlu ditegaskan karena seringkali ada salah kaprah, seolah-olah prinsip-prinsip reformatories digali langsung dari Alkitab tanpa pengaruh tradisi gereja sebelumnya. Dalam kenyataannya Luther tidak memformulasikan pemahamannya lepas dari konteks historis dan presuposisi doctrinal zamannya. Pandangan yang lebih "seimbang" harus tetap memperhatikan factor-faktor yang turut membentuk penghayatan dan pemikiran Luther pada masa reformasi, begitu juga para pengikut Luther dan gereja Lutheran kemudian hari.
            Dalam konteks pluralitas agama-agama di Indonesia dan dalam perspektif ekumenis gereja-gereja sedunia perlu diperhatikan bahwa kontribusi yang khas dari pandangan Lutheran tentang Alkitab, khususnya otoritas Alkitab, harus diformulasikan kembali dalam dialog dengan konfesi-konfesi yang ada. Tinjauan terhadap dokumen-dokumen konfesional yang telah diketengahkan di atas menunjukkan bahwa setiap generasi harus merumuskan kembali tantang jawabnya sesuai dengan panggilan dan tantangan konteksnya. Keinginan untuk mempertahankan ajaran yang murni (pura doctrina) sebagai tanda gereja yang benar, tidak perlu beralih menjadi suatu eksklusifisme konfesional. Seperti yang dikemukakan oleh Pannenberg,64) umat percaya harus melihat dengan jeli unsur-unsur mana yang masih relevan dengan konteks tempatnya berada dan unsur-unsur mana yang sudah tidak relevan lagi. Misalnya saja, pertikaian sengit pada masa reformasi antara pihak Lutheran dan Gereja Katolik tidak relevan lagi menandai tantang jawab kita pada masa kini. Namun kontribusi Lutheran yang penting dalam masalah otoritas Alkitab, misalnya, dapat ditemukan pada pendirian Luther tentang kebebasan dalam menafsir Alkitab yang begitu terbatas pada masa reformasi.
            Di samping itu dengan bangkitnya penelitian kritis-historis terhadap Alkitab, pada masa kini kita tidak dapat lagi membaca Alkitab edengan cara yang sama seperti pada masa reformasi. Konteks histories baik dari para penulis Alkitab maupun para pembaca Alkitab masa kini membentuk horizon masing-masing yang sangat berbeda, bukan saja dari segi waktu tetapi juga dari segi presuposisi kultural zaman masing-masing. Meminjam istilah Gadamer, untuk mencapai "leburnya kedua horizon" diperlukan kesadaran akan prapaham (Vorverstaendnis) dan interaksi hermeneutis antara pembaca dan teks Alkitab. Benar, Alkitab tetap berbicara dengan otoritas penuh sebagai firman Allah yang relevan bagi pergumulan umat percaya pada masa kini. Namun, bagaimana firman Allah ini menyapa manusia dalam konteksnya benar-benar menuntut suatu proses penerjemahan (Uebertragung) yang terus-menerus kini dan di sini dengan keterbukaan akan tuntutan Roh Allah. Jadi dalam rangka menerjemahkan firman ini sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, pandangan Lutheran tentang otoritas Alkitab kiranya memperlihatkan warnanya sendiri dalam rangka lukisan yang utuh dari seluruh umat percaya di segala abad dan tempat.


1) Antara lain, HKBP dan gereja-gereja yang dimandirikan ataupun berpisah dari HKBP, HKI, GKPS, GKPI, GKPA, dll.
2) Lih. Th. Van den End, Ragi Carita 2, Jakarta (BPK-Gunung Mulia, 1989), hlm. 35 br. 
3) Dokumen terakhir ini disahkan oleh Synode Am XI GKPI 20-24 September 1993. Dokumen ini diambil sebagai salah satu contoh tentang bagaimana sebuah gereja beraliran Lutheran mencoba merumuskan jawaban terhadap isu-isu masa kini berdasarkan ajaran Luther.
4) R. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, New York (Abingdon Press, 1950), hlm. 96.
5) Lih. J. B. Rogers & D. K. McKim, The Authority and Interpretation of the Bible, San Fransisco, (Harper & Row, 1979), hlm. 76.
6) Bainton, op.ct., hlm. 16.
7)  Luther seperti dalam H.T.Kerr, A Compend of Luther's Theolog, Philadelphia (Westminster, 1966), hlm. 12.
8) Lih. Rogers & McKim, op.cit., hlm. 76.
9) Seperti dalam Ker, op.cit., hlm. 13.
10) LW 26:67.
11) WA VII: 639, 641.
12) Kerr, op.cit., hlm. 13.
13) Rogers & McKim, op.cit., hlm. 77.
14) Kerr, op.cit., hlm. 153br.
15) Rogers & McKim, op.cit., hlm. 76; Kerr, ibid.
16) W.J. Kooiman, Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci dan Reformator Gereja, Jakarta (BPK-Gunung Mula, 1973), hlm. 106.
17) Lih. Rogers & McKim, op.cit., hlm.76.
18) Lih. D.L. Baker, Satu Alkitab, Dua Perjanjian, Jakarta (BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 1032.
19) LW 33:26.
20) WA 4:153.
21) Lih. H.G. Reventlow, "Biblical Authority and Protestant Reformation", The Anchor Bible Dictionary 5, ed. D.N. Freedman, New York (Double Day, 1992), hlm. 1032.
22) Kerr, op.cit., hlm. 9.
23) WA 48:31, seperti dalam Reventlow, loc.cit., hlm. 1032.
24) Seperti dalam Rogers & McKim, op.cit., hlm. 78.
25) Khotbah Luther, Minggu Kedua Advent, dalam Kerr, op.cit., hlm. 11.
26) Rogers & McKim, op.cit., hlm. 79.
27) Dalam Bainton, op.cit., hlm. 224.
28) WA III, 12, 2br dalam B.M. Gearson, Religious Thought in the Reformation, London-New York (Longman, 1992, cetakan ke-6), hlm. 68.
29) Ibid.
30) Lih. Bainton, op.cit., hlm. 331.
31) Ibid.
32) Bnd. Y.S. Aritonang, "Alkitab dalam Perjumpaan dengan sejarah", Persebaran Firman di Sepanjang Zaman, Jakarta (LAI dan BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 35.
33) J. Rogerson, C.Rowland & B. Lindars, The Study and Use of The Bible, Grand Rapids (Eerdamns, 1998), hlm. 310.
34) Lih. Rogers & McKim, op.cit.: hlm. 87.
35) Lih. Bainton, op.cit., hlm. 332.
36) Dalam Kerr, op.cit., hlm. 8; juga Baker, op.cit., hlm. 38.
37) Rogers & McKim, op.cit., hlm. 87.
38) Kerr, op.cit., hlm. 16-17.
39) Ibid.
40) Bnd. D. Becker, Pedoman Dogmati, Jakarta (BPK Gunung Mulia, 1991) hlm. 48.
41) Lih. J. Atkinson, Martin Luther and the Birth of Protestantism, Middlesex (Penguin Books, 1968), hlm. 288br.
42) Konfesi Augsburg, Jakarta (BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 43.
43) K.A., [Kesimpulan]: 6.
44) K.A. XXIII:3.
45) K.A. XXIII:10, bnd XXIII:24.
46) K.A. XXIII:22.
47) Lih. Van den End, op.cit., hlm. 184.
48) Konfesi HKBP, Permulaan:1.
49) Konfesi HKBP, Permulaan:4.
50) Konfesi HKBP, Pasal 4.
51) Ibid.
52) Ibid.
53) Pokok-pokok Pemahaman Iman gereja Kristen Protestan Indonesia, Pematangsiantar (Kolportase Pusat GKPI, 1993): hlm. i.
54) Ibid.
55) Ibid., Pendahuluan:2.
56) Ibid., Pendahuluan:1.
57) Ibid., Pendahuluan:2.
58) Ibid. I:1.
59) Ibid., I:3.
60) Ibid., I:5.
61) Ibid., I:2.
62) Ibid., I:4.
63) Ibid., I:5.
64) W.l Pannenberg, The Church, Philadelphia (Westminster, 1983), hlm. 86br.



No comments:

Post a Comment